Diunduh dari: pkspringsewu.wordpress.com
Asas PenyikapanSebuah keputusan syuro akan bisa dijalankan dengan baik oleh sebuah
komunitas, maka syuro yang dilaksanakan haruslah sebuah syuro yang bermutu. Ada
beberapa nilai yang menentukan mutu sikap dan keputusan da’wah, yaitu:
- Sejauh mana keputusan itu tepat dengan situasi, tempat, momentum, orang dan institusinya. Tidak hanya benar, tapi benar yang tepat, karena benar dan tepat adalah substansi sebuah keputusan.
- Sejauh mana keputusan da’wah itu efektif dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai. Efektivitas sebagian terkait dengan kebenaran dan ketepatan, lainnya adalah pada pengekspresian.
- Sejauh mana kita dapat mempertahankan konsistensi dalam penyikapan dan pengambilan keputusan.
• Sisi pertama adalah muatan kebenaran syar’i
• Sisi kedua adalah cara yang kita tempuh (proses)
Muatan dan Proses Muatan di sini adalah muatan kebenaran (syar’i) yang ditentukan oleh
referensi, metode yang kita gunakan. Metode berupa ijtihad, tidak lain adalah dengan
menggabungkan dua pengetahuan sekaligus, yaitu :
• Fiqhi wahyu : pegetahuan tentang sariat Islam yang mendalam
• Fiqhi realitas : pengetahuan yang mendalam dan mendetil tentang realitas
kehidupan dakwah yang kita hadapi.
Yang dilakukan dalam ijtihad adalah bagaimana memberlakukan kebenaran-kebenaran
wahyu Allah SWT dalam realitas kehidupan manusia. Secara substansi, ajaran syariat Islam
berorientasi pada kebaikan dan kepentingan hidup manusia. Sebagaimana Ibnu Taimiyah:
“…dimana ada kemashlahatan bagi manusia, di situ pasti terdapat syariat Allah
SWT”.Dengan kata lain syariat Islam mengakomodasi segala hal yang menciptakan
kemashlahatan sebanyak-banyaknya bagi manusia.Jadi asas penentuan sikap dan
pengambilan keputusan adalah ‘asumsi‘ mashlahat yang terdapat dalam perkara itu.
Asumsi bersifat relatif, sedangkan yang digunakan dalam sebuah ijtihad adalah asumsi
yang kuat (zhonn rajih).Yang terkait dengan proses adalah lembaga pengambilan
keputusan atau apa yang disebut ‘syuro’.Karena kemashlahatan itu didefinisikan melalui
sejumlah asumsi dasar, dengan merujuk pada realitas, rasionalitas dan idealitas sudah
tentu akal kolektif lebih baik dari akal individu. Karena itu keputusan bersama lebih baik
daripada keputusan individu.
Resiko Sebuah Keputusan
Yang menjadi pertanyaan umum terkait dengan masalah syuro adalah apakah keputusan
yang lahir dari syuro tidak mungkin salah?Prinsip ini (keunggulan akal kolektif atas akal individu) sering dipertentangkan dengan masalah pengendalian kolektif atas proses
kreativitas individu. Adanya anggapan keputusan syuro selalu benar dapat menjadikan
para pengambil keputusan abai terhadap antisipasi resiko. Hakikat yang perlu dipahami
dalam syuro dan keputusannya adalah:
- Para pengambil keputusan adalah manusia biasa, tidak makhsum. Yang dilakukan adalah ijtihad jama’i yang bersifat relatif, dalam arti ada resiko kesalahan;
- Penentuan dan pendefinisian mashlahat ammah pada suatu masa dan situasi tertentu adalah ruang yang sangat dinamis terus berubah dan berkembang dalam tempo cepat. Bisa jadi mashlahat hari ini adalah mudhorot esok hari.
Produk syuro
selalu mengandung resiko kesalahan atau setidaknya tempo kebenaran yang sangat
pendek, dalam pendefinisian mashlahat ammah dan mudhorot yang bersifat
asumtif.Kesalahan yang terjadi sebagai produk syuro, masih memberikan ruang perbaikan
(perubahan keputusan) dan keuntungan dikarenakan 2 hal:
- Secara kolektif telah diambil prosedur pengambilan keputusan yang benar. Sehingga dapat dengan mudah ditemukan letak kesalahan2nya , yaitu pada asumsi yang mendasari keputusan atau perkembangan baru yang tidak terduga sama sekali. Jika keputusan itu berasal dari individu maka kesalahannya terletak pada prosedur dan muatan keputusan sekaligus.
- Ijtihad jama’i lebih bisa ditanggung resikonya secara bersama-sama. Meskipun bisa jadi keputusan syuro mungkin berasal dari gagasan seorang individu anggota majelis syuro.
Optimalisasi Sebuah Syuro
Hal yang berkaitan dengan antisipasi resiko adalah bagaimana menghasilkan sebuah
keputusan syuro yang bermutu. Ini bisa diartikan dengan bagaimana mengoptimalkan
syuro. Secara umum ada 2 fungsi syuro:
• fungsi psikologis dan
• fungsi instrumental
Fungsi psikologis terlaksana jika:
- Ada jaminan kemerdekaan dan kebebasan yang penuh bagi setiap peserta syuro untuk mengekspresikan pikiran2nya secara wajar dan apa adanya. Jika ruang ekspresi tidak terwadahi dengan baik akan terjadi konflik yang kontra produktif dalam syuro. Peserta syuro harus mempunyai kelapangan dada untuk menerima keunikan-keunikan individu lainnya.
- Kemerdekaan dan kebebasan sebagai landasan menciptakan keterbukaan dan transparansi. Rasa aman dan bebas dari rasa takut, rasa nyaman karena diterima secara wajar, apa adanya akan menjadi suasana yang kondusif bagi terciptanya kreativitas dan keragaman yang produktif.
Fungsi instrumental ini hanya terlaksana apabila beberapa syarat terpenuhi:
- Sumber informasi yang cukup untuk menjamain bahwa keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Fakta yang akurat disertai analisis yang tepat akan memudahkan kita menyusun rencana keputusan baik dengan pendekatan syariat maupun pendekatan da’wah. Informasi akurat berkorelasi positif dan kuat (signifikan) dengan keputusan yang tepat. Kaidah ushul fiqh menyatakan hukum yang kita berlakukan atas sesuatu merupakan bagian dari persepsi kita tentang suatu itu.
- Tingkat kedalaman ilmu pengetahuan yang relatif harus dimiliki setiap peserta syuro sangat menentukan mutu analisis pikiran dan gagasan yang dilontarkan. Faktor lain adalah dominasi akal atas emosi (rajahatul ‘aql) serta sikap rasional yang konsisten. Sikap itu menjamin sikap emosional dan temperamental yang sebagian besar kontraproduktif, tidak terjadi dalam syuro.
- Adanya tradisi ilmiah dalam perbedaan pendapat yang menjamin keragaman pendapat yang terjadi dalam syuro-syuro terkelola dengan baik (seleksi, penyaringan dan integrasi ilmiah). Pikiran-pikiran baru yang sulit dibayangkan lahir dari seorang individu. Tradisi ilmiah mengharuskan kita menghilangkan sikap apriori, merasa benar sendiri, mudah mencurigai niat orang lain, meremehkan pendapat orang lain, berbicara tanpa dasar informasi dan ilmu pengetahuan, mengklaim gagasan orang sebagai gagasan sendiri, kasar dan tidak beradab dalam majelis, ngotot yang tidak proporsional, ngambek dan bersikap kekanak-kanakan, mudah menuduh dan memojokkan orang lain dst.
Mengelola Ketidaksetujuan Terhadap Hasil Syuro
Pengalaman keikhlasan yang penting adalah tunduk dan patuh pada sesuatu yang kita tidak
setujui dan taat dalam keadaan terpaksa. Dalam kaitan ini sangat relevan muncul
pertanyaan, bagaimana mengelola ketidaksetujuan terhadap hasil syuro? Sebelum sampai
kepada jawaban pertanyaan tersebut ada baiknya kita lakukan langkah-langkah berikut,
sebagaimana dalam tulisan Anis matta.
1. Bertanya pada diri sendiri, apakah pendapat kita telah terbentuk melalui suatu
‘upaya ilmiah’ seperti kajian, perenungan, pengalaman lapangan yang mendalam sehingga
kita punya landasan kuat untuk mempertahankannya. Dalam kaitan ini harus dibedakan
pendapat yang lahir dari proses sistematis dengan sekedar ‘lintasan pikiran’. Seyogyanya
kita mengindari pendapat hanya untuk sekedar berbicara (asbun). Karena itu adalah
kebiasaan buruk, akan tetapi ngotot adalah kebiasaan yang lebih buruk lagi.Jika memang
pendapat kita telah lahir dari proses yang sistemastis maka tawadhu adalah sikap yang
lebih utama. Pendapat kita memang benar, tapi mungkin salah. Dan pendapat mereka
salah, tapi mungkin benar.
2. Apakah pendapat kita merupakan ‘kebenaran obyektif ‘atau ‘obsesi jiwa’ tertentu
sehingga menjadi ngotot. Jika obsesi jiwa, maka tidak lain ini adalah salah satu bentuk
hawa nafsu, maka segera bertobat karena ini adalah salah satu jebakan setan. Jika
pendapat kita adalah kebenaran obyektif dan bukan berasal dari obsesi jiwa, yakinlah
bahwa syuro pun membela hal yang sama. Sebagaimana salah satu sabda Rasululloh SAW:
“ummatku tidak akan pernah bersepakat atas suatu kesesatan”.
3. Seandainya kita tetap percaya pendapat kita lebih benar dan pendapat umum yang
menjadi keputusan syuro lebih lemah atau bahkan salah, hendaklah kita percaya
“mempertahankan kesatuan dan keutuhan shaf jama’ah da’wah lebih utama dan penting
dari sekedar memenangkan pendapat yang boleh jadi benar”. Karena berkah dan
pertolongan hanya turun kepada jama’ah yang bersatu padu dan utuh. Seandainya pilihan
syuro itu terbukti salah, dengan keutuhan shaff da’wah, Alloh SWT akan mengurangi
dampak negatif dari kesalahan itu berupa misalnya:o Mengurangi tingkat resikonya
atau mencipatakan kesadaran kolektif yang baru yang mungkin tidak akan pernah tercapai
tanpa pengalaman salah seperti itu. o Mengubah jalan peristiwa kehidupan sehingga
muncul situasi baru yang memungkinkan pilihan syuro itu ditinggalkan dengan cara logis.
4. dalam ketidaksetujuan itu kita belajar banyak makna imaniyah: makna
keikhlasan yang tidak terbatas,makna tajarrud dari semua hawa nafsu, makna ukhuwah dan persatuan, makna tawadhu dan kerendahan hati § tentang
menempatkan diri yang tepat dalam kehidupan berjamaah § tentang cara kita
memandang diri kita dan orang lain secara tepat,o makna tradisi ilmiah yang kokoh
dan kelapanagan dada yang tidak terbatas , o makna keterbatasan ilmu kita di
hadapan ilmu Alloh SWT yang tidak terbatas o makna tsiqoh kepada jama’ahJangan
pernah merasa lebih besar dari jama’ah atau lebih cerdas dari kebanyakan orang. Yang
perlu diperkokoh adalah tradisi ilmiah kita, dalam bentuk:
• memperkokoh tradisi pemikiran dan perenungan yang mendalam
• memperkuat daya tampung hati terhadap beban perbedaan,
• memperkokoh kelapangan dada dan kerendahan hati.
Semua ini akan menentukan apakah kita matang secara tarbawi atau tidak.
Syubhat di Sekitar Sikap Kritis
Sikap kritis diperlukan dalam jama’ah sebagai kontrol, pengendalian dan perbaikan yang
berkesinambungan. Sikap kritis dan kultur introspeksi menjadi instrumen penting dalam
proses penyempurnaan kehidupan berjamaah.Umar bin Khoththob mengucapkan terima
kasih kepada siapapun yang menghadiahkan ‘aibnya’ kepadanya.Al Mutarabbi (penyair
Arab) :’…orang yang sempurna adalah yang ‘aibnya dapat dihitung’….’Akan tetapi ada
beberapa syubhat dari implementasi sikap kritis, terutama saat sikap kritis bertemu
dengan suasana keterbukaan dan kebebasan menyampaikan pendapat.
1. Apabila sikap kritis itu bersumber dari kebencian bukan dari semangat untuk saling
memperbaiki. Benci menjadikan kita bersikap kritis bahkan sangat kritis, sedangkan cinta
bisa menjadikan kita bersikap longgar. Rasululloh SAW selalu berdoa untuk diberi
kemampuan untuk diberi kemampuan bersikap adil ketika sedang suka dan ketika sedang
benci.
2. Apabila sikap kritis itu lahir dari keinginan untuk berbeda dengan orang lain dan
dijadikan sarana untuk memperjelas identitas diri sendiri. Karena sikap kritis adalah citra
yang baik.
3. Apabila sikap kritis ini dijadikan cara untuk mendapatkan ‘image’ sebagai
pemberani. Bahwa dirinya tidak takut pada siapa2 termasuk pada atasan, berani
menanggung resiko dari sikap kritisnya.
4. Apabila sikap kritis itu dijadikan kedok untuk merusak nama baik orang lain atau
membuka aib sesama. MIsalnya mengkritik di depan umum, tidak dianjurkan dalam Islam.
5. Apabila sikap kritis berkembang menjadi ghibah. Kritik meski bermuatan kkebenaran
disampaikan tidak pada orang yang tepat akan tidak efektif.Kritik akan efektif
memperbaiki seseorang atau suatu keadaan apabila unsur2nya terpenuhi:
- ada niat yang benar dari si pengkritik bahwa yang dilakukan sebagai kewajiban munashohah sesama muslim dan ia mengharapkan pahala dengan melaksanakan kewajiban,
- ada kesalahan obyektif yang harus dikritik. Baik kesalahan personal maupun kesalahan kebijakan.
- kritik disampaikan dengan cara yang benar dan tepat sesuai dengan adab-adab munshohah dalam Islam
Menyikapi Orang Kreatif dan Kritis
Sikap kritis umumnya merupakan indikator kesehatan hidup berjama’ah. Karena instrumen
dan proses perbaikan berkesinambungan bekerja dengan baik.Suatu ketika Umar bin
Khottob berkata, ” Semoga Alloh SWT merahmati seseorang yang telah menghadiahkan
aibku kepadaku”.Yang perlu dikhawatirkan adalah sikap kritis berkembang secara tidak
positif dan memicu konflik pribadi yang tidak sehat.Apa dan bagaimana seharusnya para
pemimpin amal Islami menyikapi kritik dan kreativitas yang pasti selalu ditemui sepanjang
kehidupan berjamaah.
1. Pemimpin harus bersikap dingin-sedingin2nya terhadap kritik yang ditujukan
kepadanya atau kepada kebijakan2nya. Selama kritik itu merupakan indikator kesehatan
jamaah tidak ada alasan untuk bereaksi secara berlebihan karena bisa mengarah kepada
konflik pribadi yang kontra produktif.
2. Pemimpin harus punya kerendahan hati yang memadai untuk mau mendengar
berbagai kritik yang ditujukan kepadanya. Sikap dingin tidak sama dengan cuek, apatis,
atau masa bodoh. Sikap dingin adalah sikap mempertahankan kondisi emosional yang stabil
sehingga tidak terganggu bekerja dalam lautan kritik. Karena mendengar adalah pekerjaan
seorang pemimpin. Dengan menjadi pendengar yang baik seorang pemimpin telah
menunjukkan kematangan pribadi. Ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki
kerendahan hati, obyektivitas, kesediaan yang permanen untuk mengikuti kebenaran dari
manapun.
3. Seorang pemimpin harus bersikap obyektif dalam menanggapi berbagai kritik yang
ditujukan kepadanya. Kritik yang baik dan benar adalah hadiah terbaik yang harus
disyukuri para pemimpin. Karena inilah Alloh melindungi pemimpin dari kesalahan yang
mungkin terjadi seandainya kritik itu tidak disampaikan.
4. Seorang pemimpin harus tetap mempertahankan prasangka baiknya terhadap semua
pengkritiknya. Ada orang yang berniat baik tapi gagal berkomunikasi atau punya kultur
karakter yang kasar, sehingga kritik yang baik dan benar tidak tersampaikan dengan cara
yang tidak baik. Prasangka baik adalah bagian dari sikap tasamuh dan kasih sayang yang
diperlukan untuk hidup langgeng dalam berjamaah. Dibutuhkan pemimpin yang senantiasa
menyisakan ruang dalam dirinya untuk berdamai saling memahami, bersepakat dan
bekerja sama kembali.
5. Yang menentukan sikap seorang pemimpin adalah pemahamannya yang dalam
tentang visi dan misi da’wah, marhalah dimana dia bekerja, strategi yang disusun dengan berbagai konsiderannya, kebijakan yang dia ambil serta berbagai pertimbangan dasarnya,
langkah2 taktis tertentu yang ia lakukan dan mengapa ia melakukan itu. Ia harus mandiri
dan independen dalam berpendapat. Sikap inilah yang menjadi dasar untuk menentukan
bagaimana sebuah kritik itu dikelola dan diakomodasi dalam kerangka kebijakan dasarnya
atau sebaliknya ditolak atau ditunda masa akomodasinya.
Keragaman yang Produktif
Dalam konteks qiyadah-jundiyah yang juga tidak kalah pentingnya adalah bagaimana
mengelola perbedaan pendapat dalam jamaah da’wah dan mengubahnya menjadi faktor
produktif bagi da’wah?Beberapa tradisi yang kuat yang dengan sendirinya akan mengubah
keragaman menjadi faktor produktif.
1. Tradisi ilmiah -- Da’wah bekerja pada domain yang sangat luas dan rumit, yang
tidak mungkin dicerna, dianalisis dan disikapi tanpa penguasaan ilmu pengetahuan dan
kemampuan berfikir sitematis dan obyektif. Ada tiga landasan utama tradisi ilmiah:
§ sistematika berpikir yang solid
§ struktur pengetahuan yang kokoh
§ kemampuan pembelajaran yang cepato
Dengan tradisi ilmiah kita mencegah setiap orang berbicara dari pikiran yang hampa dan
hati yang kosong, dari kesembronoan dan kelatahan. Tradisi ilmiah mengajarkan makna
pertanggungjawaban atas kata yang kita ucapkan.
2. Tradisi verbalitas o Tradisi ilmiah hanya bisa tumbuh dengan baik apabila
diwadahi dengan keterbukaan yang wajar. o Tradisi ini berkembang bila secara
individual punya tradisi verbalitias yaitu kebiasaan mengungkapkan pikiran secara wajar,
alami dan apa adanya. o Dengan tradisi verbalitas kita mengajarkan makna
keberanian yang natural dan kehormatan yang wajar.
3. Tradisi pembelajaran kolektif o Baik individu maupun jama’ah berkembang
melalui referensi normatif maupun pengalaman sejarah. Da’wah yang kita lakukan adalah
mata rantai perjalanan manusiawi dan relatif . Walaupun Alloh sanggup membuat seluruh
penduduk bumi beriman seketika, tapi Ia menghendaki itu terjadi melalui da’wah yang
dilakukan manusia. Kemampuan kita untuk belajar secara kolektif hanya dapat
ditingkatkan jika kita memiliki semangat dan kejujuran yang memadai untuk belajar,
seperti: § kemauan untuk mendengar semua pendapat yang beragam, §
mencerna § menganalisis § memikir ulang pendapat2 orang laino Dengan
tradisi ini kita bisa mengakselarasi pertumbuhan kapasitas da’wah .
4. Tradisi toleransi Dengan tradisi ini kita harus membiasakan diri untuk memiliki:o
kelapangan dada o kerendahan hati o membebaskan diri dari kepicikan o
prasangka buruk o mengkondisikan diri untuk menghargai waktuKarena sebuah
gagasan terkadang harus diuji di lapangan dan perlu waktu. Tapi membuat seseorang
mentoleransi orang lain adalah menunjukkan keluasan ilmu dan wawasannya. Itu yang
membantunya memahami orang secara tepat. Memahami alasan-alasan yang mendorong
seseorang memiliki sebuah sikap.
Mengokohkan Tradisi Ilmiah
Beberapa ciri tradisi ilmiah yang kokoh, yang dapat mengubah keragaman menjadi
produktivitas kolektif:
- berbicara dan bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan,
- tidak bersikap apriori dan tidak memberikan penilaian terhadap sesuatu sebelum mengetahuinya dengan akurat,
- selalu membandingkan pendapatnya dengan pendapat kedua dan ketiga sebelum menyimpulkan atau mengambil keputusan,
- mendengar lebih banyak daripada berbicara,
- gemar membaca dan secara sadar menyediakan waktu khusus untuk itu,
- lebih banyak diam dan menikmati saat-saat perenungan dan kesendirian,
- selalu mendekati permasalahan secara komprehensif, integral, obyektif dan proporsional,
- gemar berdiskusi dan proaktif dalam mengembangkan wacana, ide-ide tapi tidak suka berdebat kusir,
- berorientasi pada kebenaran dalam diskusi dan bukan pada kemenangan,
- berusaha mempertahankan sikap dingin dalam bereaksi terhadap sesuatu dan tidak bersikap emosional serta meledak-ledak,
- berfikir secara sistematis dan berbicara secara teratur,
- tidak pernah merasa berilmu secara permanen dan karenanya selalu ingin belajar,
- menyenangi hal-hal yang baru dan menikmati tantangan serta perubahan
- rendah hati dan bersedia menerma kesalahan,
- lapang dada dan toleran dalam perbedaan,
- memikirkan ulang gagasannya sendiri atau gagasan oang lain dan senantiasa menguji kebenarannya,
- selalu memikirkan gagasan-gagasan baru secara produktif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar