“BILA KADAR AIR MENCAPAI DUA KULAH” KARYA M. LILI NUR AULIA
Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 249 Th.12)
Kecuali Rasulullah SAW, tak satupun manusia di dunia ini yang luput dari kesalahan. Setiap orang, bagaimanapun keshalihannya dikenal oleh orang lain, tetap memiliki kesalahan yang menjadi rahasia dirinya. Setiap manusia, apapun jabatan dan kedudukannya terhormat di mata orang, pasti mempunyai ruang gelap tentang prilakunya yang buruk, yang tidak banyak diketahui orang lain. Orang beriman, siapapun, pasti memiliki aib dan cacat yang terpelihara dan tidak diketahui banyak orang. Orang yang tak suci, dan memiliki rahasia terkait kekurangan dan kesalahan diri itu, termasuk kita. Pasti.
Karena kekurangan dan aib itu dimiliki oleh semua orang, maka nilai dan moral Islampun memperhatikan masalah ini. Islam melarang pembicaraan tentang kekurangan dan keburukan seorang Muslim, apalagi di umbar di masyarakat. Ini penting untuk menghalangi munculnya suasana yang bisa merusak nama baik seseorang, bila aib dan kekurangannya disebutkan. Apalagi, bila orang yang melakukan kesalahan itu, mungkin saja kini sudah mengalami suasana hidup dan kehidupan yang berbeda dengan noda masa lalu yang dibicarakan. Atau, bila apa yang diungkapkan tentang keburukan dan kekurangan seorang Muslim itu ternyata hanya berupa tuduhan, sehingga bernilai fitnah.
Saudaraku,
Hati siapa yang tak berduka, mendengar kekurangan dan aib saudara Muslimya dikuliti dan dijadikan perbincangan banyak orang. Apalagi saudara Muslim yang diungkapkan kekurangan pribadinya itu, dikenal sebagai orang baik atau setidaknya telah banyak melakukan kebaikan di masyarakat. Persis suasana yang digambarkan oleh Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah saat menerangkan bagaimana cara utama menilai kedudukan para perawi hadits. Ia mengatakan, “Termasuk prinsip syariat dan bagian dari sikap bijak adalah, siapa saja seseorang yang sudah banyak dan besar kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, terlebih ia menorehkan pengaruh baik yang jelas dalam kehidupan Islam. Maka, orang seperti ini bisa saja ditolerir atas sesuatu yang mungkin tidak bisa ditolerir bila dilakukan oleh orang lain. Ia bisa dimaafkan atas sesuatu yang mungkin sulit dimaafkan bila dilakukan selainnya. Sungguh kemaksiatan itu adalah kotoran. Tapi air bila sudah mencapai dua kulah, ia dianggap tidak mengandung kotoran. Berbeda dengan air yang sedikit, yang dianggap kotor meski kotorannya sedikit.”
Betapa dalam dan indahnya ungkapan Ibnul Qayyim rahimahullah itu. Ia melandaskan ungkapannya, karena kenyataan pasti setiap orang memiliki kekurangan. Tapi bila kebaikkan seseorang telah lebih banyak dari kekurangannya, maka kekurangan itu bisa terhapus oleh kebaikkannya. Itulah tamsil yang diungkapkan oleh beliau dalam ungkapan tentang “air dua kulah” tadi.
Saudaraku,
Ketegasan Islam untuk memelihara kebaikan diri seorang mukmin, sudah ditekankan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya tpai belum masuk iman ke dalam hatinya. Janganlah kalian membicarakan keburukan dari umat Islam dan jangan kalian intip aurat (kekurangan yang tertutup) mereka. Sungguh orang yang mengintip aurat mereka, maka Allah akan intip aurat dirinya. Dan barang siapa yang diintip auratnya oleh Allah SWT, maka auratnya itu akan terbongkar di dalam rumahnya sendiri.”(HR. Abu Barzah, di hasan shahihkan oleh Al Albani)
Bayangkan, bila kekurangan kita yang tertutup itu lalu dibuka dihadapan banyak orang. Itu logikan yang disampaikan Rasulullah SAW dalam hadits ini, bahwa orang yang mencari-cari kekurangan atau aib saudaranya yang tertutup, maka Allah SWT akan membongkar aib dan kekurangannya yang tertutup itu.
Kebaikan dan peran yang dilakukan oleh seseorang, tak mungkin diabaikan begitu saja. Ia memiliki nilai, terlebih bila kebaikan itu merupakan salah satu sikap yang tidak banyak dilakukan oleh orang lain, dalam arti posisi itu sebagai pionir kebaikan atau orang yang berkorban banyak hal untuk kebaikkan yang sudah dirasakan manfaatnya. Rasulullah SAW mengatakan kepada Umar bin Khatab ra terkait sikapnya yang begitu keras terhadap Hatib bin Abi Balta’ah ra yang “membocorkan” rencana Rasulullah SAW kepada kaum Musyrikin Makkah. Rasulullah SAW mengatakan, “Anda tidak tahu, bagaimana Allah SWT telah mengatakan ahli Badar, “Lakukanlah apa saja yang kalian suka, karena sungguh Allah telah mengampuni kalian.”
Saudaraku,
Lalu, terakhir. Mari kita renungkan apa yang dikatakan oleh seorang tabi’I bernama Abdullah bin Akim. Ia seorang tabi’I yang begitu teliti dan mudah tersentuh terhadap maksud dan tujuan firman Allah SWT serta hadits Rasulullah SAW. Karena ketelitian dan kebersihan hatinya itu, ia dikenal sebagai orang yang tidak pernah mengikat kantong uangnya. Ia biarkan kantong uangnya terbuka lantaran hanya pernah mendengar hadits Rasulullah SAW yang berbunyi, “Laa tuu’ii, fa yuu’iyallahu alaik.” Artinya, “Jangan engkau mengikat harta kekayaanmu. Niscaya Allah SWT akan mengikatnya kepadamu di akhirat.”
Dalam suatu majelis, saat Abdullah bin Akim menjelaskan tentang orang-orang yang Ikhlas, tiba-tiba saja ia mengatakan, “Aku tidak akan membantu tumpahnya darah seorang khalifah lagi, setelah Ustman.” Perkataan itu membuat orang yang mendengarnta terpengaruh. Masing-masing heran, mengapa kalimat itu diucapkan oleh Abdullah bin Akim yang selama ini yang dikenal sebagai orang shalih. Ada apa kaitannya antara Abdullah bin Akim yang selama ini tidak pernah diketahui memegang pedang menentang Ustman bin Affan radhiallahu anhu. Ia bahkan juga tak pernah kedengaran mencaci khalifah Ustman. Tapi kenapa ia mengatakan itu? Salah seorang muridnya, meski dengan ragu tapi ia akhirnya berani menanyakan, “Wahai Syaikh, apakah engkau dahulu ikut mengucurkan darah Ustman?” Abdullah bin Akim menjawab dengan bibir bergetar, “Aku dahulu sempat menyebutkan prihal keburukan Ustman bin Affan ra, dan itu artinya aku terlibat menumpahkan darahnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar