Jumat, 19 Maret 2021

PILIH YANG PALING BERAT

“PILIH YANG PALING BERAT”

Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 19 Th.2/30)

Dalam sebuah hadits hasan riwayat Imam Turmudzi, disebutkan sabda Rasulullah SAW, “Usia Umatku berkisar antara 60 sampai 70 tahun.” Ibnu Hajar al Atsqalani, yang mensyarah hadits Rasulullah tersebut mengatakan, “Allah memberi toleransi kepada seseorang untuk menunda ajalnya sampai berusia 60 tahun,” (Fathul Bari, 10/108).

Saudaraku,

Semoga Allah merahmati kita semua. Mari berhitung, berapa sudah usia hidup yang kita jalani? Sampai kapan takdir Allah memberi waktu untuk kita? Bagi kita yang berusia kepala dua, sebagaimana bunyi hadits di atas, berarti kita hanya memiliki kesempatan kurang lebih 40-an tahun. Untuk kita yang berumur kepala tiga, artinya hanya tersisa 30 tahun lagi. Bagi yang berusia kepala empat, berarti kesempatan itu semakin kecil. Dan seterusnya.

Pertambahan usia pun menjadi warning, peringatan. Usia 20 tahun adalah peringatan. Usia 30, peringatan itu bertambah keras. Usia 40 lebih keras lagi. Puncaknya adalah 60 tahun.

Saudaraku,

Tak seorangpun tahu bagaimana dan kapan tempo hidupnya berakhir. Tak ada yang tahu bagaimana dan kapan tubuh menjadi payah oleh sakit. Saat ia tak bisa lagi secara optimal melakukan ketaatan dan amal-amal shalih sebagai tabungan di hari akhir. Seorang Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu, sahabat dekat Rasulullah SAW pun pernah menangis saat menderita sauatu penyakit, di detik-detik akhir hayatnya. ”Aku menangis karena aku justru menderita sakit, pada saat amal ibadahku berkurang, bukan pada saat aku semangat.”

Karena itu, Umar bin Khattab radhiallahu anhu mengatakan, ‘Hasibu anfusakum qobla an tuhasabu”, berhitunglah kepada dirimu sendiri, sebelum engkau dihitung di hari akhir. “Kafaa bi syaibi wa’izan”, cukuplah uban di kepala itu menjadi peringatan, begitu filosofi para salafushalih untuk mengingat dekatnya waktu “panggilan” Allah SWT.

Saudaraku,

Inilah dering peringatan hati yang harus selalu ada dalam diri kita. Dering ini yang akan memicu kesadaran diri untuk segera bekerja sungguh-sungguh, meninggalkan kelezatan semu, palsu dan menipu. Sebagaimana yang dilakukan Shuhaib radhiallhu anhu yang meninggalkan seluruh hartanya untuk menyusul Rasulullah SAW, hijrah ke Madinah. Mendengar pengorbanan Shuhaib itu, Rasulullah SAW bersada, “Beruntunglah perdagangan Abu Yahya … beruntunglah perdagangan Abu Yahya….”

Dengarlah bagaimana Imam Ali karramallah wajhahu, menggambarkan perasaannya bahwa keadaan yang paling ia cintai adalah, memikul pedang di medan jihad, puasa di bawah panas terik matahari dan memuliakan tamu.

Pedang Allah Khalid bin Walid, juga tidak melihat kenahagiaannya dalam masalah dunia. Ia berkata pada dirinya sendiri, “Berada dalam satu unit militer dari Muhajirin dan Anshar, hembusan angina yang sangat dingin dan dalam persiapan menyerang musuh, lebih aku cintai daripada keberadaanku pada malam pesta pernikahan.”

Mereka memindahkan padangan dan pertimbangannya dari amal duniawi pada amal ukhrawi. Berkah pengenalan Allah yang tinggi, menuntun hati mereka untuk selalu bisa mengenali sesuatu yang lebih utama. “Ambisi Anda adalah tergantung sebesar apa cita-cita Anda. Perhatian seseorang terhadap sesuatu, adalah petunjuk apa yang terpendam dalam jiwanya, baik berupa tekad maupun kelemahan,” begitu kata Ibnul Qayyim.

Saudaraku.

Laksanakanlah hak-hak waktu, terutama yang tidak dapat diganti pada waktu yang lain. Terlalu banyak hak waktu yang harus ditunaikan, sehingga sebanyak apapun orang beramal, sebenarnya hak waktu takkan habis.

Ibnu Athaillah menyebutkan, “Usia dan hembusan nafas kita sangat terbatas. Yang sudah pergi berlalu takkan kembali.” Panjang pendek usia manusia memang sepanjang ia bisa bernafas. Hembusan nafas, sama dengan detak jantung dan mengalirnya darah sebagai tanda kita masih hidup. Hidup kitapun berakhir dengan tersumbatnya saluran nafas, berhentinya detak jantung dan aliran darah. Sederhana sekali. Tapi sangat mahal nilainya.

Saudaraku,

Salah satu keadaan yang menyebabkan seseorang surut, lunglai dan tidak konsisten dalam ketaatan, dalam perjuangan dan dalam pengorbanan adalah ketika ia tidak menyadari sempitnya waktu untuk beramal. Kondisi ini antara lain muncul dalam sikap “taswif”, yakni menunda-nunda, santai dan berlambat-lambat melakukan amal-amal shalih. Ulama Islam terkenal asal Kuwait, Syaikh Jasmin Muhalhil, mengatakan penyakit taswif tersebut pada akhirnya akan menjadikan seseorang lamban bergerak dan akhirnya lumpuh. Benarlah sabda Rasulullah SAW, “Tidaklah suatu kaum berlambat-lambat dalam suatu urusan, sampai Allah menjadikannya benar-benar lambat.”(HR. Turmidzi)

Kenapa demikian? Karena menunda-nunda perkerjaan yang menjadi hak waktu, pasti akan menggeser hak waktu lain yang sebenarnya mempunyai hak yang harus ditunaikan juga. Begitu seterusnya. Pergeseran itu, akan berdampak pada menumpuknya hak-hak waktu yang lain hingga akhirnya menjadi sulit dipenuhi.

Sebab itulah, saudraku, Hasan Al-Bashri menegaskan “Jauhi sifat menunda-nunda. Nilai dirimu tergantung pada hari ini, bukan besok. Kalau besok engkau beruntung, berarti keuntunganmu akan bertambah bila hari ini engkau telah beramal. Dan kalau besok engkau rugi, toh engkau takkan menyesal karena telah beramal pada hari ini.” (Az-Zuhd, 4)

Saudaraku,

Ingat, kita hanya memiliki waktu sedikit untuk beramal sholeh. Jauhi bisikan syetan yang mengarahkan kita mengerjakan prioritas pekerjaan nisbi dan semu. Jangan terjerumus pada pertimbangan yang keliru dalam menunaikan hak waktu. Bila suatu waktu kita merasa sulit menimbang amal atau hak waktu apa yang harus lebih dulu kita tunaikan, camkanlah nasihat Ibnu Athaillah berikut ini :

“Jika kabur bagimu dua perkara, maka perhatikanlah salah satu dari keduanya yang paling terasa berat bagi nafsu, lalu ikutilah ia. Karena tidak ada sesuatu yang terasa berat bagi nafsu kecuali sesuatu itu yang benar.”

Semoga Allah SWT memberi kekuatan pada kita untuk selalu berada dalam ketaatan kepada-Nya.

Tidak ada komentar: