“INI
UNTUKMU, ANAKKU…” KARYA M. LILI NUR AULIA
Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 231
Th.11)
“Dalam
kitab Al Auliya, dikisahkan Abdullah
bin Mas’ud radhiallahu anhu shalat
malam dan di sisinya tertidur anaknya yang masih kecil. Usai shalat ia
memandang anaknya dan berkata “Ini untukmu wahai amakku…” Ia lalu membaca surat
Al Kahfi yang menyebutkan “wa kaana
abuuhumaa shaalihan” (dan adalah orang tua dari anak yatim itu merupakan
orang shalih), sambil menangis.
Saudaraku,
Bagaimana
kabar putra putri kita? Setiap orang tua, ayah maupun ibu, harus yakin
seyakin-yakinnya bahwa semua kebaikan dan seluruh amal shalih yang dilakukan,
pengaruhnya akan terlihat pada orang sekitarnya dan yang paling pertama adalah
anak atau keluarga. Sebaliknya juga seperti itu. Ayah atau ibu, harus
benar-benar percaya bahwa keburukan apapun atau kemaksiatan apapun yang
dilakukan, pasti akan berdampak pada orang disekitarnya, terutama anak dan
keluarga.
Itulah
yang disampaikan Allah SWT dalam Al Quran Al Karim, tentang kegelisahan dan
rasa khawatir terhadap nasib anak-anak kita setelah kita tiada. Tidak ada yang
bisa menjawabnya kecuali kita mengikhlaskan amal, mendekatkan diri kepada Allah
dan memperkuat ketakwaan kita kepada-Nya. Allah SWT berfirman dalam surat An
Nisa ayat 9 yang artinya “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (keadaan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar.”
Saudaraku,
Tentang
orang tua yang shalih, juga disinggung olah Al Quran Al Karim saat mengurai
kisah Nabi Musa alaihissalam bersama
orang yang dijuluki Al Quran sebagai al
abdu ash shalih (hamba yang shalih). Ketika keduanya datang kesebuah desa yang
sangat kikir hingga tak memberi mereka minum satu tetes airpun. Meski begitu,
ketika al abdu ash shalih itu mendapati
sebuah tembok rumah yang hampir roboh, ia berusaha membangun kembali tembok
itu. Musa alaihissalam heran dan
bertanya, kenapa ia membangun kembali tembok yang hampir roboh padahal penduduk
desa telah bersikap tidak baik terhadap mereka? Al Abdu ash shalih lalu
menjelaskan sebagaimana diabadikan dalam Al Quran surat Al Kahfi ayat 82 yang
artinya, “Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak muda yang
yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpana bagi mereka berdua,
sedang ayahnya adalah seorang yang shaleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya
mereka sampai kepada kedewasaan dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai
rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukan itu menurut kemauanku sendiri. Demikian
itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”
Saudaraku,
Perhatikan
firman Allah SWT yang menyebutkan, “wa
kaanaabuuhumaa shalihan” (dan adalah orang tua keduanya adalah orang yang
shalih). Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Itu merupakan dalil bahwa
keshalihan orang tua akan turut memelihara keluarga dan keturunannya. Barakah dari
ibadahnya kepada Allah itu, melilputi kebahagiaan dunia dan akhirat bagi
keluarga yang ditinggalkannya. Termasuk dengan syafaat orang tua untuk
keluarganya dan pengangkatan derajat mereka sehingga orang tua yang shalih itu
senang melihat keturunannya disurga.”
Selain
itu, Ar Razi saat mengulas tafsir ayat ini mengatakan, “Dinding rumah itu sudah
hampir runtuh. Jika runtuh pasti harta simpanan itu akan terlihat dan banyak
diambil banyak orang. Maka Allah SWT ingin memelihara harta simpanan milik
kedua anak yatim piatu untuk menjamin hak keduanya, dan karena orang tua mereka adalah orang shalih.”
Bahkan
saudaraku,
Ternyata,
keshalihan orang tua erat kakitannya dengan kondisi yang dialami keturunnanya. Jelas
disebutkan dalam ayat ini, bahwa keshalihan orang tua dari anak yatim itulah
yang menjadikan Allah SWT memerintahkan al
abdu ash shalih untuk membangun kembali tembok yang hampir rubuh, utnutk
memelihara harta untuk mereka.
Ya.
Keshalihan orang tua. Memang bukan mudah melaksanakannya. Itulah yang menyebabkan
linangan air mata seorang sahabat sekelas Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu menangis saat melakukan
shalat malam. Dalam kitab Hilyatu Al Auliya, dikisahkan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu shalat malam dan
disisinya tertidur anaknya yang masih kecil. Usai shalat ia memandang anaknya
dan berkata, “Ini untukmu wahai anakku…” Ia lalu membaca surat Al Kahfi yang
menyebutkan “wa kaana abuuhumaa shaalihan”
(dan adalah orang tua dari anak yatim itu merupakan orang shalih), sambil
menangis.
Dikisahkan
juga bahwa Udaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud menjual sebuah rumah
dengan harta delapan puluh ribu dirham. Seseorang berkata padanya, “Sisakanlah
bagian untuk anakmu dari harta penjualan
rumah ini sebagai simpanan mereka.” Ia mengatakan,”Saya jadikan harta ini
sebagai simpananku disisi Allah. Dan saya jadikan Allah sebagai simpanan bagi
anakku.” Lalu Ubaidillah bin Abdullah menginfakkan seluruh hartanya.
Lalu,
kitapun menjadi teringat dengan perkataan Said bin Musayyib,”Sesungguhnya aku
sedang shalat dan aku teringat dengan anakku, lalu aku tambahkan lagi shalatku.”
Begitulah. Kebaikan atau keurukan orang tua, sengat menentukan keadaan
anak-anak mereka.
Saudaraku,
Mari
sama-sama menanamkan perenungan yang dalam pada diri kita, bahwa kita para
orang tua adalah pendidik yang paling utama untuk kebaikan anak-anak kita. Perhatikan
perkataan Imam Syafii rahimahullah,
saat ia singgah ke ruangan Harun Ar Rasyid. Kepadanya dikatakan, “Wahai Syafii,
mereka adalah anak-anak Amirul Mukminin, dan itu (sambil menunjuk seseorang
bernama Abi Abdi Shamad), adalah orang yang membina mereka, mungkin engkau
ingin memberi saran kepadanya?” Imam Syafii lalu mendekati Abu Abdu Shamad lalu
mengatakan, “Hendaklah engkau mulai perbaikan terhadap anak-anak Amirul
Mukminin, dengan memperbaiki dirimu terlebih dahulu. Sesungguhnya mata mereka
terikat dengan matamu. Kebaikan bagi mereka adalah apa yang engkau pandang
baik. Bagitupun keburukan bagi mereka adalah apa yang engkau tidak lakukan. Ajarkan
mereka Kitabullah dan jangan engkau paksa mereka untuk mengikutimu sehingga
mereka bisa bosan. Jangan pula engkau biarkan mereka, karena mereka nantinya
akan menjauh dari Kitabullah…”
Saudaraku,
Apa
yang kita lakukan untuk bisa mengatakan,”Ini untukmu wahai anakku…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar