Jumat, 24 Juli 2020

“INI UNTUKMU, ANAKKU…” KARYA M. LILI NUR AULIA

Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 231 Th.11)

“Dalam kitab Al Auliya, dikisahkan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu shalat malam dan di sisinya tertidur anaknya yang masih kecil. Usai shalat ia memandang anaknya dan berkata “Ini untukmu wahai amakku…” Ia lalu membaca surat Al Kahfi yang menyebutkan “wa kaana abuuhumaa shaalihan” (dan adalah orang tua dari anak yatim itu merupakan orang shalih), sambil menangis.

Saudaraku,
Bagaimana kabar putra putri kita? Setiap orang tua, ayah maupun ibu, harus yakin seyakin-yakinnya bahwa semua kebaikan dan seluruh amal shalih yang dilakukan, pengaruhnya akan terlihat pada orang sekitarnya dan yang paling pertama adalah anak atau keluarga. Sebaliknya juga seperti itu. Ayah atau ibu, harus benar-benar percaya bahwa keburukan apapun atau kemaksiatan apapun yang dilakukan, pasti akan berdampak pada orang disekitarnya, terutama anak dan keluarga.
Itulah yang disampaikan Allah SWT dalam Al Quran Al Karim, tentang kegelisahan dan rasa khawatir terhadap nasib anak-anak kita setelah kita tiada. Tidak ada yang bisa menjawabnya kecuali kita mengikhlaskan amal, mendekatkan diri kepada Allah dan memperkuat ketakwaan kita kepada-Nya. Allah SWT berfirman dalam surat An Nisa ayat 9 yang artinya “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (keadaan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

Saudaraku,
Tentang orang tua yang shalih, juga disinggung olah Al Quran Al Karim saat mengurai kisah Nabi Musa alaihissalam bersama orang yang dijuluki Al Quran sebagai al abdu ash shalih (hamba yang shalih). Ketika keduanya datang kesebuah desa yang sangat kikir hingga tak memberi mereka minum satu tetes airpun. Meski begitu, ketika al abdu ash shalih itu mendapati sebuah tembok rumah yang hampir roboh, ia berusaha membangun kembali tembok itu. Musa alaihissalam heran dan bertanya, kenapa ia membangun kembali tembok yang hampir roboh padahal penduduk desa telah bersikap tidak baik terhadap mereka? Al Abdu ash shalih lalu menjelaskan sebagaimana diabadikan dalam Al Quran surat Al Kahfi ayat 82 yang artinya, “Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak muda yang yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpana bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shaleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaan dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukan itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar  terhadapnya.”

Saudaraku,
Perhatikan firman Allah SWT yang menyebutkan, “wa kaanaabuuhumaa shalihan” (dan adalah orang tua keduanya adalah orang yang shalih). Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Itu merupakan dalil bahwa keshalihan orang tua akan turut memelihara keluarga dan keturunannya. Barakah dari ibadahnya kepada Allah itu, melilputi kebahagiaan dunia dan akhirat bagi keluarga yang ditinggalkannya. Termasuk dengan syafaat orang tua untuk keluarganya dan pengangkatan derajat mereka sehingga orang tua yang shalih itu senang melihat keturunannya disurga.”

Selain itu, Ar Razi saat mengulas tafsir ayat ini mengatakan, “Dinding rumah itu sudah hampir runtuh. Jika runtuh pasti harta simpanan itu akan terlihat dan banyak diambil banyak orang. Maka Allah SWT ingin memelihara harta simpanan milik kedua anak yatim piatu untuk menjamin hak keduanya, dan  karena orang tua mereka adalah orang shalih.”

Bahkan saudaraku,
Ternyata, keshalihan orang tua erat kakitannya dengan kondisi yang dialami keturunnanya. Jelas disebutkan dalam ayat ini, bahwa keshalihan orang tua dari anak yatim itulah yang menjadikan Allah SWT memerintahkan al abdu ash shalih untuk membangun kembali tembok yang hampir rubuh, utnutk memelihara harta untuk mereka.
Ya. Keshalihan orang tua. Memang bukan mudah melaksanakannya. Itulah yang menyebabkan linangan air mata seorang sahabat sekelas Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu menangis saat melakukan shalat malam. Dalam kitab Hilyatu Al Auliya, dikisahkan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu shalat malam dan disisinya tertidur anaknya yang masih kecil. Usai shalat ia memandang anaknya dan berkata, “Ini untukmu wahai anakku…” Ia lalu membaca surat Al Kahfi yang menyebutkan “wa kaana abuuhumaa shaalihan” (dan adalah orang tua dari anak yatim itu merupakan orang shalih), sambil menangis.
Dikisahkan juga bahwa Udaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud menjual sebuah rumah dengan harta delapan puluh ribu dirham. Seseorang berkata padanya, “Sisakanlah bagian untuk anakmu dari harta  penjualan rumah ini sebagai simpanan mereka.” Ia mengatakan,”Saya jadikan harta ini sebagai simpananku disisi Allah. Dan saya jadikan Allah sebagai simpanan bagi anakku.” Lalu Ubaidillah bin Abdullah menginfakkan seluruh hartanya.
Lalu, kitapun menjadi teringat dengan perkataan Said bin Musayyib,”Sesungguhnya aku sedang shalat dan aku teringat dengan anakku, lalu aku tambahkan lagi shalatku.” Begitulah. Kebaikan atau keurukan orang tua, sengat menentukan keadaan anak-anak mereka.

Saudaraku,
Mari sama-sama menanamkan perenungan yang dalam pada diri kita, bahwa kita para orang tua adalah pendidik yang paling utama untuk kebaikan anak-anak kita. Perhatikan perkataan Imam Syafii rahimahullah, saat ia singgah ke ruangan Harun Ar Rasyid. Kepadanya dikatakan, “Wahai Syafii, mereka adalah anak-anak Amirul Mukminin, dan itu (sambil menunjuk seseorang bernama Abi Abdi Shamad), adalah orang yang membina mereka, mungkin engkau ingin memberi saran kepadanya?” Imam Syafii lalu mendekati Abu Abdu Shamad lalu mengatakan, “Hendaklah engkau mulai perbaikan terhadap anak-anak Amirul Mukminin, dengan memperbaiki dirimu terlebih dahulu. Sesungguhnya mata mereka terikat dengan matamu. Kebaikan bagi mereka adalah apa yang engkau pandang baik. Bagitupun keburukan bagi mereka adalah apa yang engkau tidak lakukan. Ajarkan mereka Kitabullah dan jangan engkau paksa mereka untuk mengikutimu sehingga mereka bisa bosan. Jangan pula engkau biarkan mereka, karena mereka nantinya akan menjauh dari Kitabullah…”

Saudaraku,
Apa yang kita lakukan untuk bisa mengatakan,”Ini untukmu wahai anakku…”

Tidak ada komentar: