Rabu, 22 Juli 2020

“MA’RIFAHLAH, AGAR RIDHA” KARYA M. LILI NUR AULIA

Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 230 Th.11)

“Ridha dengan ketetapan Allah yang tidak menyenangkan, adalah tingkat keyakinan yang paling tinggi.” (Ali bin Abi Thalib ra)

Apa makna yang ada dalam benak kita saat berulangkali menyatakan dalam shalat “Sesungguhnya, shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam…”?
Pertanyaan penting, sebab seringkali ungkapan bernilai yang berulang-ulang kita ucapkan, menjadi miskin pemaknaan. Banyak pernyataan yang begitu mahal artinya, yang sering kita ucapkan, lalu menjadi tidak memiliki arti. Jika keadaan seperti itu yang kita alami, berarti kita akan banyak kehilangan unsur manfaat yang sebenarnya bisa melecut dan mengarahkan hidup kita menjadi lebih baik. Boleh jadi kita secara fisik melakukan dan mengucapkan sesuatu yang bernilai, tapi itu tidak meresap dalam hati dan pastinya, tidak memberi pengaruh dalam perjalanan kita ini.

Saudaraku,
Pernyataan yang sering kita baca saat mengawali shalat kita itu, memilik banyak arti yang begitu menggetarkan. Salah satunya, menandakan bahwa kita ridha kehidupan ini semuanya, ya semuanya, untuk Allah saja. Menandakan bahwa hati kita lapang, tenteram, nyaman tenang, yakin menyerahkan semua yang kita alami dan kita jalani di dunia ini, orientasinya untuk Allah saja. Menandakan bahwa kita tak ragu sedikitpun, menyatakan bahwa nilai hidup kita ada pada penyerahan total pada kehendak Allah SWT saja. Mengikuti apa maunya Allah SWT. Tunduk pada apa yang diperintahkan Allah SWT.

Saudaraku,
Hidup tanpa sikap ridha kepada Allah SWT, merupakan sumber bencana bagi jiwa dan kehidupan itu sendiri. Orang menjadi mudah mengeluh, gampang kecewa, tidak percaya diri, terlalu banyak memilih tanpa arahan yang jelas, mudah menyalahkan orang lain atau diri sendiri, dan semacamnya. Hasan Al Bashri pernah ditanya tentang sebab yang menjadikan seseorang mudah gelisah dan gampang mengeluh. Jawabannya, “min qillatir ridhaa anillah..”, karena sedikitnya ridha kepada Allah. Dan ketika ditanya, apa yang menyebabkan orang sedikit ridha kepada Allah? Hasan Al Bashri menjawab, “min qillatil ma’rifah billah”, karena sedikitnya pengenalan terhadap Allah.
Maka, kuncinya adalah ma’rifatullah atau pengenalan yang baik kepada Allah SWT. Semakin banyak seseorang mengenal Allah SWT, semakin ridha ia kepada-Nya. Mengenal Allah SWT artinya, berusaha mengerti, meyakini lalu menerina semua kehendak Allah SWT. Keridhaan sebagai buah ma’rifah mendalam pada Allah SWT itulah yang membuat Khudzaifah bin Al Yaman menitikkan air mata saat ia mengalami sakit keras menjelang wafatnya. “Aku menangis bukan karena menangisi akan meninggalkan dunia. Aku lebih cinta pada kematian. Tapi aku tidak tahu apakah Allah SWT ridha atau murka terhadap apa yang aku lakukan?” kata Khuzaifah.
Yang dirasakan oleh Khudzaifah bin Al Yaman, adalah soal kedalaman ma’rifahnya kepada Allah SWT, sehingga berusaha mengerti bagaimana penerimaan Allah SWT atas dirinya. Ia mencoba merasakan bila sepak terjangnya dalam memperjuangkan agama tauhid itu, diterima oleh Allah SWT atau sebaliknya.

Saudaraku,
Jalan tunduk dan taat kepada perintah Allah SWT, tentu jalan yang membutuhkan banyak pengorbanan dan karenanya jalan ini sulit lahirnya. Tapi inilah jalan para Nabi dan jalan yang telah diberikan suluhnya kepada kita oleh Rasulullah SAW. Penggambaran jalan ini disampaikan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah. “Jalan ini jalan yang melelahkan. Lelah di jalan ini Adam alaihissalam. Merintih sakit di jalan ini Nuh alaihissalm. Dujual di jalan ini Yusuf alaihissalam dengan harga  yang sangat murah lalu dipenjara selama beberapa tahun. Digergaji di atas jalan ini  Zakariya alaihissalam. Disembelih di jalan ini Yahya alaihissalam. Disiksa dengan kejam di jalan ini Ayyub alaihissalam. Di jalan ini, dililit kemiskinan dan diterpa siksaan Muhammad shallallahu alaihi wa salam. (Al Fawaa-id, Ibnul Qayyim, hal. 42)
Namun, orang yang telah dipenuhi hatinya dengan ridha kepada Allah SWT, maka ia bisa melewati situasi pahit seperti apapun selama situasi itu ada di atas jalan-Nya. Ia akan mengisi hatinya dengan rasa tenang dan terlindung dari bahaya. Ia akan mampu menerima ketetapan atau takdir apapun dari Allah SWT, setelah ia berusaha dengan apa yang ia mampu. Ia akan tenang dan terlepas dari rasa khawatir berlebihan, dan dari kegundahan yang selalu membuat hati gelisah, terhadap apa yang akan terjadi. Kondisi itulah yang akan memancarkan kebahagiaan jiwa dan kemenangan bagi dirinya. Ma’rifah yang berarti kenal, tahu, dan sadar. Membuahkan ridha yang artinya tenang, menerima dan yakin. Begitulah.

Saudaraku,
Karena itu, ketika seseorang ridha kepada Allah SWT, itu pertanda semakin kuat keyakinan kepada Allah SWT. Bahkan bila seseorang telah memiliki keridhaan terhadap situasi yang tidak diinginkan, itulah indikator paling jelas untuk mengukur tingkat keyakinan seseorang. Seperti yang diucapkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu, “Ridha dengan ketetapan Allah yang tidak menyenangkan, adalah tingkat keyakinan yang paling tinggi.”
Karena itu pula, Saad bin Abi Waqqash radhiallahu anhu lebih tenang dan menerima takdir Allah SWT terhadap matanya yang tidak lagi mampu melihat dihari tuanya. Saat ia datang ke Makkah, banyak orang memohon agar dido’akan karena do’anya dianggap lebih di dengar oleh Allah SWT. Saat pun mendo’akan mereka dan umat Islam untuk kebaikan. Abdullah bin Said bercerita, “Ketika itu aku masih kanak-kanak mendatangi Saad bin Abi Waqash dan mengatakan,”Paman, mengapa engkau mendoakan banyak orang dan tidak mendoakan dirimu sendiri agar Allah memulihkan matamu?”

Saudaraku,
Diamlah sebentar saja. Lalu, baca dan renungkanlah bunyi perkataan Saad bin Abi Waqash, sahabat Rasulullah SAW pemberani yang menjelang wafatnya meminta dikafani dengan pakaian perangnya saat perang Badar itu, “Anakku, ketetapan Allah SWT atas mataku, yang tidak melihat, itu lebih aku sukai daripada kembalinya penglihatanku.” (Madarij As Salikin, 2/227)

Saudaraku,
Seperti itulah tingkat keyakinan yang paling tinggi.

Tidak ada komentar: