“MA’RIFAHLAH,
AGAR RIDHA” KARYA M. LILI NUR AULIA
Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 230
Th.11)
“Ridha dengan ketetapan Allah yang tidak
menyenangkan, adalah tingkat keyakinan yang paling tinggi.” (Ali bin Abi Thalib
ra)
Apa
makna yang ada dalam benak kita saat berulangkali menyatakan dalam shalat “Sesungguhnya,
shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam…”?
Pertanyaan
penting, sebab seringkali ungkapan bernilai yang berulang-ulang kita ucapkan, menjadi
miskin pemaknaan. Banyak pernyataan yang begitu mahal artinya, yang sering kita
ucapkan, lalu menjadi tidak memiliki arti. Jika keadaan seperti itu yang kita
alami, berarti kita akan banyak kehilangan unsur manfaat yang sebenarnya bisa
melecut dan mengarahkan hidup kita menjadi lebih baik. Boleh jadi kita secara
fisik melakukan dan mengucapkan sesuatu yang bernilai, tapi itu tidak meresap
dalam hati dan pastinya, tidak memberi pengaruh dalam perjalanan kita ini.
Saudaraku,
Pernyataan
yang sering kita baca saat mengawali shalat kita itu, memilik banyak arti yang
begitu menggetarkan. Salah satunya, menandakan bahwa kita ridha kehidupan ini
semuanya, ya semuanya, untuk Allah saja. Menandakan bahwa hati kita lapang,
tenteram, nyaman tenang, yakin menyerahkan semua yang kita alami dan kita
jalani di dunia ini, orientasinya untuk Allah saja. Menandakan bahwa kita tak
ragu sedikitpun, menyatakan bahwa nilai hidup kita ada pada penyerahan total
pada kehendak Allah SWT saja. Mengikuti apa maunya Allah SWT. Tunduk pada apa
yang diperintahkan Allah SWT.
Saudaraku,
Hidup
tanpa sikap ridha kepada Allah SWT, merupakan sumber bencana bagi jiwa dan
kehidupan itu sendiri. Orang menjadi mudah mengeluh, gampang kecewa, tidak
percaya diri, terlalu banyak memilih tanpa arahan yang jelas, mudah menyalahkan
orang lain atau diri sendiri, dan semacamnya. Hasan Al Bashri pernah ditanya
tentang sebab yang menjadikan seseorang mudah gelisah dan gampang mengeluh. Jawabannya,
“min qillatir ridhaa anillah..”,
karena sedikitnya ridha kepada Allah. Dan ketika ditanya, apa yang menyebabkan
orang sedikit ridha kepada Allah? Hasan Al Bashri menjawab, “min qillatil ma’rifah billah”, karena
sedikitnya pengenalan terhadap Allah.
Maka,
kuncinya adalah ma’rifatullah atau pengenalan yang baik kepada Allah SWT.
Semakin banyak seseorang mengenal Allah SWT, semakin ridha ia kepada-Nya. Mengenal
Allah SWT artinya, berusaha mengerti, meyakini lalu menerina semua kehendak
Allah SWT. Keridhaan sebagai buah ma’rifah mendalam pada Allah SWT itulah yang
membuat Khudzaifah bin Al Yaman menitikkan air mata saat ia mengalami sakit
keras menjelang wafatnya. “Aku menangis bukan karena menangisi akan
meninggalkan dunia. Aku lebih cinta pada kematian. Tapi aku tidak tahu apakah
Allah SWT ridha atau murka terhadap apa yang aku lakukan?” kata Khuzaifah.
Yang
dirasakan oleh Khudzaifah bin Al Yaman, adalah soal kedalaman ma’rifahnya
kepada Allah SWT, sehingga berusaha mengerti bagaimana penerimaan Allah SWT
atas dirinya. Ia mencoba merasakan bila sepak terjangnya dalam memperjuangkan
agama tauhid itu, diterima oleh Allah SWT atau sebaliknya.
Saudaraku,
Jalan
tunduk dan taat kepada perintah Allah SWT, tentu jalan yang membutuhkan banyak
pengorbanan dan karenanya jalan ini sulit lahirnya. Tapi inilah jalan para Nabi
dan jalan yang telah diberikan suluhnya kepada kita oleh Rasulullah SAW.
Penggambaran jalan ini disampaikan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah. “Jalan ini jalan yang melelahkan. Lelah di jalan ini
Adam alaihissalam. Merintih sakit di
jalan ini Nuh alaihissalm. Dujual di jalan ini Yusuf alaihissalam dengan harga
yang sangat murah lalu dipenjara selama beberapa tahun. Digergaji di
atas jalan ini Zakariya alaihissalam. Disembelih di jalan ini
Yahya alaihissalam. Disiksa dengan kejam
di jalan ini Ayyub alaihissalam. Di jalan
ini, dililit kemiskinan dan diterpa siksaan Muhammad shallallahu alaihi wa salam. (Al Fawaa-id, Ibnul Qayyim, hal. 42)
Namun,
orang yang telah dipenuhi hatinya dengan ridha kepada Allah SWT, maka ia bisa
melewati situasi pahit seperti apapun selama situasi itu ada di atas jalan-Nya.
Ia akan mengisi hatinya dengan rasa tenang dan terlindung dari bahaya. Ia akan
mampu menerima ketetapan atau takdir apapun dari Allah SWT, setelah ia berusaha
dengan apa yang ia mampu. Ia akan tenang dan terlepas dari rasa khawatir
berlebihan, dan dari kegundahan yang selalu membuat hati gelisah, terhadap apa
yang akan terjadi. Kondisi itulah yang akan memancarkan kebahagiaan jiwa dan
kemenangan bagi dirinya. Ma’rifah yang berarti kenal, tahu, dan sadar. Membuahkan
ridha yang artinya tenang, menerima dan yakin. Begitulah.
Saudaraku,
Karena
itu, ketika seseorang ridha kepada Allah SWT, itu pertanda semakin kuat
keyakinan kepada Allah SWT. Bahkan bila seseorang telah memiliki keridhaan
terhadap situasi yang tidak diinginkan, itulah indikator paling jelas untuk
mengukur tingkat keyakinan seseorang. Seperti yang diucapkan oleh Ali bin Abi
Thalib radhiallahu anhu, “Ridha
dengan ketetapan Allah yang tidak menyenangkan, adalah tingkat keyakinan yang
paling tinggi.”
Karena
itu pula, Saad bin Abi Waqqash radhiallahu
anhu lebih tenang dan menerima takdir Allah SWT terhadap matanya yang tidak
lagi mampu melihat dihari tuanya. Saat ia datang ke Makkah, banyak orang
memohon agar dido’akan karena do’anya dianggap lebih di dengar oleh Allah SWT.
Saat pun mendo’akan mereka dan umat Islam untuk kebaikan. Abdullah bin Said
bercerita, “Ketika itu aku masih kanak-kanak mendatangi Saad bin Abi Waqash dan
mengatakan,”Paman, mengapa engkau mendoakan banyak orang dan tidak mendoakan
dirimu sendiri agar Allah memulihkan matamu?”
Saudaraku,
Diamlah
sebentar saja. Lalu, baca dan renungkanlah bunyi perkataan Saad bin Abi Waqash,
sahabat Rasulullah SAW pemberani yang menjelang wafatnya meminta dikafani
dengan pakaian perangnya saat perang Badar itu, “Anakku, ketetapan Allah SWT
atas mataku, yang tidak melihat, itu lebih aku sukai daripada kembalinya
penglihatanku.” (Madarij As Salikin,
2/227)
Saudaraku,
Seperti
itulah tingkat keyakinan yang paling tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar