“DUKA
YANG MEMBAWA KEDEKATAN” KARYA M. LILI NUR AULIA
Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 232
Th.12)
Saudaraku,
Setiap
kita pasti pernah menyesal dan bersedih? Tapi berapa banyak penyesalan dan
kesedihan itu tak memicu pertaubatan kita. Kedukaan karena kegagalan, karena
kezaliman orang, karena takdir yang memisahkan, karena sakit yang menyempitkan.
Di
dunia ini, banyak peristiwa duka dan kesedihan yang mungkin telah kita lewati.
Jenak waktu yang selalu menggulirkan derai air mata jika kita mengingatnya. Bagian
kehidupan yang menjadi sisi keududukan dan kesedihan mendalam bagi jiwa. Kita
boleh menangis mengingatnya. Kita mungkin merasakan kepedihan dalam hati saat
menghadirkan memory tentangnya. Tapi, sayangnya, kesedihan, kedukaan, kepedihan
itu, tak membuat kita lebih baik menjalani hidup setelahnya.
Kesedihan
tinggallah kesedihan. Kedukaan hanya sesaat. Kepedihan tak berapa lama.
Kemudian kita kembali hanyut dan terombang ambing dalam rutinitas dan kesibukan
yang terus menerus menyita waktu hidup.
Saudaraku,
Seharusnya,
ragam peristiwa itu adalah cermin yang menasihati langkah. Seharusnya,
kepedihan, kedukaan, kesedihan, itu adalah pengingat agar kita lebih berhati-hati
dan lebih memeilih jalan untuk dekat dengan-Nya. Selalu dekat. Tidak pernah
menjauh. Apalagi mencari jalan lain. Seharusnya begitu. Tapi itu tidak terjadi,
hingga detik ini.
Lalu
apa artinya penggalan kisah itu diberikan Allah ada dalam hidup kita? Bukankah
Rasulullah SAW mengingatkan kita, bahwa musibah itu sejatinya bila disikapi
dengan benar akan bisa membawa kita pada derajat yang lebih baik dari
sebelumnya. Bukankah segala penderitaan yang dialami seorang mukmin itu akan
membersihkan dirinya dari dosa. Dan ketika kedudukan dan penderitaan itu datang
terasa berat dan bertubi-tubi, praktis akan banyak dosa dan kesalahan yang
terkikis dari tubuhnya hingga ia bisa menjadi bersih karenyanya?
Saudaraku,
Setiap
orang memiliki memorynya sendiri-sendiri tentang hidup. Tak semua orang
menganggap penderitaan yang dialami seseorang itu berat, seberat apa yang
dirasakan oleh orang yang menderita. Tak semua orang juga sepakat bahwa apa
yang dialami seseorang itu memang penderitaan dan kesedihan. Karena tak jarang
orang menganggap penderitaan itu biasa dan ringan, tapi sebenarnya ringan
dipikul oleh orang yang mengalaminya.
Apa
musibah yang pernah kita alami dalam hidup kita hingga sekarang? Apakah ada
musibah paling berat yang kita rasakan dibanding berbagai kondisi sulit yang
kita lewati itu? Lalu apa reaksi kita dan langkah kita setelah mengalaminya?
Apakah benar musibah yang dialami itu mencuci kesalahan dan lebih mendekatkan
diri kita kepada-Nya?
Saudaraku,
Di
zaman dahulu, saat Rasulullah SAW dan para sahabatnya hadir menerangi dan
menebar cahaya tauhid di muka bumi ini, mereka juga bersedih, berduka,
menyesali sesuatu yang telah terjadi. Tapi mereka sama-sama mengerti, bahwa
kesedihan, kedukaan, penyesalan terhadap sesuatu yang sudah lewat, sustansinya
adalah bagaimana mereka bisa mengambil pelajaran untuk kebaikan selanjutnya.
Karenanya, Allah SWT menegaskan “fa’tabiruu yaa ulil abshaar”, maka, ambillah
(kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai
pandangan.” (QS. AlHasry : 24).
Orang
yang memilik pandangan, melihat masa lalu untuk melihat sejarah, mengambil
nasihat, membekali diri dengan pengalaman yang lalu, berhati-hati untuk tidak
terjebak dalam kasus yang sama dikemudian hari. Mungkin mereka bersedih,
berduka, menyesal, pasti. Tapi kesedihan, kedukaan, sesal itu menjadi energy untuk
bisa melakukan yang lebih baik. Kesedihan, luka, sakit, di masa kemarin itu,
menjadi modal untuk bisa menjadi lebih kuat untuk menghadapi beragam situasi
yang akan datang. Kuat menghadapi rongrongan hati untuk terjerumus dalam
maksiat. Kuat menghadapi desakan lingkungan yang mendorong-dorong untuk jatuh
ke lembah dosa. Kuat mengontrol diri untuk tidak terpeleset dari jatuh dalam
bisikan syaitan yang ingin mejauhkannya dari Allah SWT.
Sebab
jika kesedihan terhadap peristiwa lalu berdiri sendiri, tanpa kemampuan
mengambil pelajaran darinya, kesedihan menjadi berdampak negative dan
berbahaya. Dale Carnegie, pakar motivasi mengatakan,”Kita dapat melakukan sesuatu
untuk mengubah akibat dari apa yang terjadi 180 detik yang lalu, tetapi kita
tidak dapat mungkin merubah peristiwa yang sudah terjadi. Hanya ada satu cara
untuk memanfaatkan masa lalu, yaitu dengan membuat analisa yang tenang terhadap
apa yang sudah terjadi, terhadap semua kesalahan-kesalahan yang telah kita
perbuat dan menarik pelajaran daripadanya dan kemudian melupakannya sama sekali.”
Saudaraku,
Jadikan
duka kita, sesal kita, terhadap semua yang tidak berkenan dan tak seiring
dengan kemauan, sebagai sarana untuk lebih dekat kepada Allah SWT. Tidak aka
nada manfaat kedukaan atau musibah bila kita tidak menjadikannya pelajaran yang
bisa menambah kedudukan pada Allah SWT. Tidak aka nada gunanya, penyesalan dan
kesalahan, bila tidak membawa taubat dan kembali kepada taat. Tidak akan pernah
ada manfaat bila kesedihan atas beragam peristiwa hidup, hanya sebatas
kesedihan, tapi tak menjadikan jiwa yang lebih kuat menghadapi masalah yang tak
pernah selesai.
Orang
optimis, menurut ahli hikmah, adalah yang tidak melihat adanya cahaya tapi ia berusaha
mencarikannya sampai ia mendapatkannya. Sedangkan orang yang putus asa adalah
orang yang melihat cahaya tapi ia tak percaya bahwa ia telah melihat cahaya.
Saudaraku,
Yakinlah
bila cahaya itu selalu ada. Percayalah bahwa kegelapan takkan pernah ada tanpa
didampingi cahaya. “Mohonlah pertolongan Allah SWT dan jangan pernah menyerah
lemah. Jika Anda ditimpa sesuatu keburukan, jangan katakana seandainya aku
lakukan itu, niscaya akan begini dan begini. Tapi katakanlah : “Allah SWT telah
mentakdirkan apa yang Dia kehendaki pasti Dia lakukan. Karena sesungguhnya,
kata “Seandainya” itu membuka campur tangan syaitan.” Demikian wasiat
Rasulullah SAW.
Dengan
cara seperti ini kita bisa menjadikan segala kedukaan, adalah jembatan kea rah kebahagiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar