Selasa, 28 Juli 2020

“DUKA YANG MEMBAWA KEDEKATAN” KARYA M. LILI NUR AULIA

Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 232 Th.12)

Saudaraku,
Setiap kita pasti pernah menyesal dan bersedih? Tapi berapa banyak penyesalan dan kesedihan itu tak memicu pertaubatan kita. Kedukaan karena kegagalan, karena kezaliman orang, karena takdir yang memisahkan, karena sakit yang menyempitkan.
Di dunia ini, banyak peristiwa duka dan kesedihan yang mungkin telah kita lewati. Jenak waktu yang selalu menggulirkan derai air mata jika kita mengingatnya. Bagian kehidupan yang menjadi sisi keududukan dan kesedihan mendalam bagi jiwa. Kita boleh menangis mengingatnya. Kita mungkin merasakan kepedihan dalam hati saat menghadirkan memory tentangnya. Tapi, sayangnya, kesedihan, kedukaan, kepedihan itu, tak membuat kita lebih baik menjalani hidup setelahnya.
Kesedihan tinggallah kesedihan. Kedukaan hanya sesaat. Kepedihan tak berapa lama. Kemudian kita kembali hanyut dan terombang ambing dalam rutinitas dan kesibukan yang terus menerus menyita waktu hidup.

Saudaraku,
Seharusnya, ragam peristiwa itu adalah cermin yang menasihati langkah. Seharusnya, kepedihan, kedukaan, kesedihan, itu adalah pengingat agar kita lebih berhati-hati dan lebih memeilih jalan untuk dekat dengan-Nya. Selalu dekat. Tidak pernah menjauh. Apalagi mencari jalan lain. Seharusnya begitu. Tapi itu tidak terjadi, hingga detik ini.
Lalu apa artinya penggalan kisah itu diberikan Allah ada dalam hidup kita? Bukankah Rasulullah SAW mengingatkan kita, bahwa musibah itu sejatinya bila disikapi dengan benar akan bisa membawa kita pada derajat yang lebih baik dari sebelumnya. Bukankah segala penderitaan yang dialami seorang mukmin itu akan membersihkan dirinya dari dosa. Dan ketika kedudukan dan penderitaan itu datang terasa berat dan bertubi-tubi, praktis akan banyak dosa dan kesalahan yang terkikis dari tubuhnya hingga ia bisa menjadi bersih karenyanya?

Saudaraku,
Setiap orang memiliki memorynya sendiri-sendiri tentang hidup. Tak semua orang menganggap penderitaan yang dialami seseorang itu berat, seberat apa yang dirasakan oleh orang yang menderita. Tak semua orang juga sepakat bahwa apa yang dialami seseorang itu memang penderitaan dan kesedihan. Karena tak jarang orang menganggap penderitaan itu biasa dan ringan, tapi sebenarnya ringan dipikul oleh orang yang mengalaminya.
Apa musibah yang pernah kita alami dalam hidup kita hingga sekarang? Apakah ada musibah paling berat yang kita rasakan dibanding berbagai kondisi sulit yang kita lewati itu? Lalu apa reaksi kita dan langkah kita setelah mengalaminya? Apakah benar musibah yang dialami itu mencuci kesalahan dan lebih mendekatkan diri kita kepada-Nya?

Saudaraku,
Di zaman dahulu, saat Rasulullah SAW dan para sahabatnya hadir menerangi dan menebar cahaya tauhid di muka bumi ini, mereka juga bersedih, berduka, menyesali sesuatu yang telah terjadi. Tapi mereka sama-sama mengerti, bahwa kesedihan, kedukaan, penyesalan terhadap sesuatu yang sudah lewat, sustansinya adalah bagaimana mereka bisa mengambil pelajaran untuk kebaikan selanjutnya. Karenanya, Allah SWT menegaskan “fa’tabiruu yaa ulil abshaar”, maka, ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. AlHasry : 24).
Orang yang memilik pandangan, melihat masa lalu untuk melihat sejarah, mengambil nasihat, membekali diri dengan pengalaman yang lalu, berhati-hati untuk tidak terjebak dalam kasus yang sama dikemudian hari. Mungkin mereka bersedih, berduka, menyesal, pasti. Tapi kesedihan, kedukaan, sesal itu menjadi energy untuk bisa melakukan yang lebih baik. Kesedihan, luka, sakit, di masa kemarin itu, menjadi modal untuk bisa menjadi lebih kuat untuk menghadapi beragam situasi yang akan datang. Kuat menghadapi rongrongan hati untuk terjerumus dalam maksiat. Kuat menghadapi desakan lingkungan yang mendorong-dorong untuk jatuh ke lembah dosa. Kuat mengontrol diri untuk tidak terpeleset dari jatuh dalam bisikan syaitan yang ingin mejauhkannya dari Allah SWT.
Sebab jika kesedihan terhadap peristiwa lalu berdiri sendiri, tanpa kemampuan mengambil pelajaran darinya, kesedihan menjadi berdampak negative dan berbahaya. Dale Carnegie, pakar motivasi mengatakan,”Kita dapat melakukan sesuatu untuk mengubah akibat dari apa yang terjadi 180 detik yang lalu, tetapi kita tidak dapat mungkin merubah peristiwa yang sudah terjadi. Hanya ada satu cara untuk memanfaatkan masa lalu, yaitu dengan membuat analisa yang tenang terhadap apa yang sudah terjadi, terhadap semua kesalahan-kesalahan yang telah kita perbuat dan menarik pelajaran daripadanya dan kemudian melupakannya sama sekali.”

Saudaraku,
Jadikan duka kita, sesal kita, terhadap semua yang tidak berkenan dan tak seiring dengan kemauan, sebagai sarana untuk lebih dekat kepada Allah SWT. Tidak aka nada manfaat kedukaan atau musibah bila kita tidak menjadikannya pelajaran yang bisa menambah kedudukan pada Allah SWT. Tidak aka nada gunanya, penyesalan dan kesalahan, bila tidak membawa taubat dan kembali kepada taat. Tidak akan pernah ada manfaat bila kesedihan atas beragam peristiwa hidup, hanya sebatas kesedihan, tapi tak menjadikan jiwa yang lebih kuat menghadapi masalah yang tak pernah selesai.
Orang optimis, menurut ahli hikmah, adalah yang tidak melihat adanya cahaya tapi ia berusaha mencarikannya sampai ia mendapatkannya. Sedangkan orang yang putus asa adalah orang yang melihat cahaya tapi ia tak percaya bahwa ia telah melihat cahaya.

Saudaraku,
Yakinlah bila cahaya itu selalu ada. Percayalah bahwa kegelapan takkan pernah ada tanpa didampingi cahaya. “Mohonlah pertolongan Allah SWT dan jangan pernah menyerah lemah. Jika Anda ditimpa sesuatu keburukan, jangan katakana seandainya aku lakukan itu, niscaya akan begini dan begini. Tapi katakanlah : “Allah SWT telah mentakdirkan apa yang Dia kehendaki pasti Dia lakukan. Karena sesungguhnya, kata “Seandainya” itu membuka campur tangan syaitan.” Demikian wasiat Rasulullah SAW.
Dengan cara seperti ini kita bisa menjadikan segala kedukaan, adalah jembatan kea rah kebahagiaan.

Tidak ada komentar: