“SUDAH MEMBUKA LEMBAR KEBERAPA” KARYA M. LILI NUR AULIA
Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 222 Th.11)
Seorang ulama, pernah mengibaratkan waktu kehidupan ini dengan ilustrasi sederhana, tapi sangat menyentuh. Katanya, hidup ini ibarat kita membuka lembar demi lembar sebuah buku. Dan setiap lembar buku yang kita buka, adalah ibarat satu hari yang kita lewati. Semakin banyak lembar buku yang telah kita buka, berarti semakin tipis sisa lembar buku yang kita buka. Hingga akhirnya lembar demi lembar buku itupun habis kita buka. Dan itulah ajal.
Saudaraku,
Dalam setiap lembaran itu, ada catatan dan warnanya sendiri-sendiri. Berapa lembar yang sudah kita buka? Mari periksa kembali, apa isi catatan yang ada di lembar demi lembar yang telah kita buka itu. Ada warna apa di sana? Apakah gambar dan peristiwa yang tertera di sana? Indahkah catatan dan warnanya? Lalu, berfikirlah tentang berapa banyak lagi lembaran yang tersisa bagi kami untuk kita isi? Jawaban, pasti tidak ada yang tahu.
Ibnul Jauzi rahimahullah pernah berkisah tentang keadaan manusia di zamannya, “Aku menyaksikan banyak kebiasaan orang-orang yang isinya adalah menyia-nyiakan waktu. Padahal orang-orang shalih terdahulu sangat hati-hati dengan waktu.” Fudhail bin Iyadh rahimahullah juga mengisahkan penggalan peristiwa penting yang ada di masyarkatnya ketika itu. Ia mengatakan, “Saya kenal dengan seseorang yang bisa menghitung perkataannya dari satu Jum’at ke Jum’at berikutnya….” Masih menurut Fudhail, dahulu ada sekelompok orang yang lebih cenderung untuk diam, tidak mau aktif untuk melakukan kebaikan. Kepada mereka Fudhail mengatakan,”Sesungguhnya Malaikat yang menjalankan matahari tidak pernah diam menjalankan tugasnya menyinari alam semesta, apakah kalian tetap tidak ingin berdiri dan bergerak?”
Saudaraku,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah memegang pundak Abdullah bin Umar radhiallahu anhu, lalu bersabda, ‘Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau pengembara. Jika engkau hidup hingga waktu sore, jangan menunggu pagi dan jika engkau hidup hingga waktu pagi, jangan menunggu sore. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum kamu sakit dan waktu hidupmu sebelum kamu mati”. (HR. Bukhari)
Orang-orang shalih terdahulu, sangat ketat memeriksa waktu-waktu hidupnya. Diantara mereka ada yang bernama Amir bin Abdi Qais rahimahullah, seorang ahli ibadah yang terkenal sangat memelihara waktu. Suatu ketika, seseorang mengatakan padanya, “Berhentilah sejenak, saya perlu berbicara padamu…” Secara cepat ia menjawab, “Jika engkau ingin saya berhenti, hentikanlah matahari memancarkan sinarnya…” lain lagi dengan Daud Ath-Tha’I rahimahullah. Ia makan roti yang telah dibasahkan dengan air dan tidak mau makan roti kering. Saat memakainya ia mengatakan, “Antara makan roti kering dengan roti basah, ada bacaan 50 ayat.”
Waktu hidup ini memang tak pernah berhenti berdetak, bergerak dan berjalan menuju akhirnya. Dan setiap kita tak pernah tahu di mana titik akhir diamnya. Tak peduli waktu kecil, muda maupun dewasa apalagi tua. Itu sebabnya, Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dala sebuah ceramahnya yang begitu menggugah mengatakan,”Wahai, pemuda-pemuda dua puluhan tahun, berapa banyak teman-teman seusia kalian yang telah meninggal dan mendahului kalian? Wahai, pemuda-pemuda tigapuluhan tahun, kalian berada di rentang terakhir usia muda, apa yang telah kalian lakukan selama ini? Wahai, para orang tua empat puluhan tahun telah terlewati masa kecil dan masa muda dan kalian telah terlalu lama bermain dan bersenda gurau hingga saat ini. Wahai, para orang tua lima puluhan tahun, usia kalian telah menempuh separuh dari seratus tahun, apa yang sudah kalian hasilkan? Wahai para orang tua enam puluhan tahun, terlalu lama kalian ada di ujung harapan yang selama ini telah memuliakanmu, apakah kalian akan tetap bermain dan bersenda gurau, padahal engkau sudah hampir sampai…”
Saudaraku,
Termasuk di kelompok manakah kita? Usia dua puluhan, tiga puluhan, empat puluan, lima puluhan atau enam puluhan? Atau bahkan lebih dari itu? Fudhail pernah berkata pada seseorang, “Berapa usia yang telah kau lewati?” Orang itu menjawab, “Enam puluh tahun, menempuh perjalanan menuju Tuhanmu dan sebentar lagi engkau akan sampai ke tujuan.”
Mungkin, ada di antara kita yang bangga dan bersyukur dengan bertambahnya usia. Seharusnya kita semakin banyak merenung dengan kian berkurangnya usia. Seperti dikatakan Abu Darda dan Al Hasan radhiallahu anhuma, “Dirimu hanyalah gugusan hari demi hari. Setiap berlalu satu hari berarti berkuranglah bagian darimu. Mengapa kita bergembira dengan hari-hari yang telah kita lewati? Padahal, setiap hari berlalu, artinya kian mendekatkan kita pada ajal…”
Saudaraku,
Mari berkerja keras untuk kematian. Ketentuan untung atau rugi, ada pada bagaimana kita beramal dan bekerja saat ini, sekarang. “Bagaimanakah penghuni dunia bisa gembira dengan harinya yang melahap bulannya, dengan bulannya yang memakan tahunnya, dan tahunnya yang semakin menghancurkan usianya? Bagaimana seorang bisa gembira bila usia sebenarnya mengarahkan pada ajalnya dari dunia, dan merubah kehidupannya pada kematiannya?
Sungguh indah detik-detik waktu yang dilewati para orang-orang shalih. Mubarak rahimahullah bercerita, “Aku berkunjung kepada Tsabit al-Bunani rahimahullah di saat sakit menjelang ajalnya. Ketika itu, ia tetap mengingat teman-temannya. Ketika kami masuk menemuinya, ia berkata: “Wahai saudaraku kemarin aku tidak bisa mendatangi teman-temanku lalu berzikir kepada Allah bersama mereka seperti biasanya.” Kemudian ia berkata: ‘Ya Allah, apabila Engkau menghalangi aku dari tiga perkara di dunia sesaat pun.’ Lalu ia meninggal dunia saat itu.
Saudaraku,
Sudah membuka lembar keberapa? Berapa banyak catatan di lembar-lembar waktu kita yang tak ada hubungannya, dengan dunia apalagi akhirat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar