“MENGENANG RAMADHAN KITA” KARYA M. LILI NUR AULIA
Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 190 Th.10)
Mari mengingat-ingat kembali Ramadhan kita. Duduk terpekur, dalam hening dan sepi. Di sini. Tentang apa yang pernah kita lakukan di bulan itu. Tentang ruang-ruang waktu saat sahur, ketika kaki mengetuk jalanan menuju masjid, saat membaca huruf demi huruf Al Quran yang lebih banyak dari biasanya. Keteduhan hati, ketenangan jiwa, dan kententraman yang menyergap segenap tubuh kita dalam menjalani jenak-jenak puasa di siang hari yang menyebabkan bibir dan tenggorokan kering, karena Allah SWT.
Juga, tentang apa yang lalai kita lakukan di bulan itu. Tentang sikap membuang-buang waktu dalam urusan yang tak ada hubungannya dengan kemuliaan Ramadhan. Tentang perilaku menunda-nunda amal shalih. Tentang kemalasan yang ada dalam menjalani ketaatan. Kita saat itu sedang di datangi tamu mulia yang kedatangannya kita rindukan. Namun sekarang ia telah meninggalkan kita sekitar satu bulan. Kita yang ditinggalkan telah kembali menapaki perguliran pagi, siang, petang, malam seperti bulan-bulan sebelumnya. Adakah pengaruh Ramadhan kita kita rasakan dalam 30 hari setelah ini?
Saudaraku,
Coba ingat-ingat lagi, bagaiimana bunyi sebuah hadits riwayat Ibnu Khuzaimah, Al Hakim dan dishahihkan oleh Al Hakim. Ketika, Rasulullah SAW yang mengatakan tiga kalimat, “Aamin” sebelum ia naik mimbar. Ketika kemudian Rasulullah SAW menjelaskan bahwa Malaikat Jibril as hadir kepadanya dan mengatakan,”Barang siapa merasakn Ramadhan, tapi tidak diampuni dosanya, maka ia masuk neraka dan di tinggalkan Allah…” Itulah kalimat pertaman yang diaminkan oleh lisan Nabi SAW yang suci dari dosa. Lalu Jibril as mengatakan lagi, “Barang siapa yang mengenal kedua orang tua atau salah satu dari mereka lalu ia tidak berbakti kepadanya hingga meninggal, maka ia masuk neraka dan ditinggalkan oleh Allah SWT. Itulah kalimat kedua yang diaminkan oleh Rasulullah SAW. Kemudian Jibril as kembali berkata, “Barang siapa yang disebut nama Rasulullah disisinya lalu tidak mengucapkan do’a dan shalawat atasmu dan ia meniggal, maka ia masuk neraka dan ditinggalkan oleh Allah SWT. Inilah kalimat ketiga yang diaminkan oleh Nabi SAW.
Saudaraku,
Ditinggalkan Allah SWT maknanya adalah kehancuran dunia dan akhirat. Barang siapa yang mendapat Ramadhan dan tidak diampuni dosanya, maka kehancuran untuknya di dunia maupun di akhirat. Barang siapa yang merasakan bulan Ramadhan, namun tidak di ampuni dosanya, kapankah lagi ia akan mendapat ampunan Allah SWT? Barang siapa yang tidak memanfaatkan momentum Ramadhan dengan baik, apakah ada waktu lain baginya untuk mendapatkan ampunan atas dosanya sebagaimana di bulan Ramadhan?
Saudaraku,
Apakah dosa-dosa kita diampuni dalam limpahan rahmat Allah SWT yang tak terhingga di bulan yang kini telah meniggalkan kita itu? Diamlah saudaraku, merenunglah dan berkatalah pada diri sendiri tentang jawabannya. Bagaimana kondisi kita pada hari ini?
Saudaraku,
Hampir seluruh peristiwa dalam hidup ini memiliki musimnya sendiri. Sebagaimana cuaca yang memiliki musim panas, musim dingin, musim hujan dan semacamnya. Juga peredaran bumi yang mengelilingi matahari sehingga memunculkan waktu pagi, siang dan malam. Binatang mempunyai musim kawin, musim perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya, musim perburuan makanan dan semacamnya. Manusia, juga melewati musim-musim tertentu dalam hidupnya menyesuaikan cuaca yang mengiringi kondisi mereka. Maka, ketaatanpun memiliki musimnya sendiri. Yakni, bulan Ramadhan itu.
Karena itulah saudaraku,
Abu Sulaiman Khalid bin Al Walid mempunyai pilihan waktu sendiri yang menjadi musim ketaatannya. Ia pernah mengatakan bahwa dimuka bumi ini taka da malam yang paling di dambakan bahkan melebihi malam pengantin, yakni ketika ia berada di malam yang dingin dalam salah sebuah ekspedisi jihad di jalan Allah SWT lalu di pagi harinya berhadapan dengan musuh. (HR. Abu Ya’la). Itu karena Abu Sulaiman memahami apa kewajiban waktunya, apa musim ketaatan yang lebih penting ia kerjakan sesegera mungkin di saat itu. Itu juga sebabnya Abu Hurairah ra menyifatkan para sahabat Rasulullah SAW dengan ungkapan, “Mereka orang-orang yang sangat serius dalam mengejar suatu kebaikan.”
Jika mengetahui ada suatu kebaikan, mereka berlomba untuk segera melakukannya. Mererka sangat memahami apa yang dikatakan oleh Ats Tsa’labi, “Bahwa kemalasan dan kebahagiaan itu takkan pernah bertemu.” Ibnul Qayyim juga mengatakan, “Ajma’a `uqalaa-ul ummah alaa annan na’iim laaa yudraku bin na’iim. Wa annar raahah laa tunaalu bir raahah.” Orang-orang pandai dalam umat ini sepakat bahwa kenikmatan tidak bisa diperoleh dengan cara yang nikmat. Ketentraman tidak bisa didapat melalui cara yang tentram.
Saudaraku,
Mari menilai diri kita, apakah kita termasuk orang-orang yang berlomba-lomba melakukan kebaikan di bulan Ramadhan lalu? Apakah dosa-dosa kita diampuni Allah setelah melewati hari di bulan suci? Ya Allah, hindari kami termasuk dari orang-orang yang digolongkan dalam do’a Jibril yang di “amin”kan oleh Rasul kami SAW.
Hadirkan lagi sabda Rasulullah SAW, tentang orang-orang yang terhalang dari kebaikan di bulan Ramadhan. Saat awal memasuki Ramadhan, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya bulan ini telah datang kepada kalian. Di dalamnya ada malam lebih baik dari seribu bulan. Barang siapa yang terhalang darinya maka ia telah terhalang dari kebaikan semuanya.” (HR. Ibnu Majah, dibasankan oleh Al Albani).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar