Jumat, 11 September 2020

“HANYA KARENA KEHENDAK ALLAH”

“HANYA KARENA KEHENDAK ALLAH” KARYA M. LILI NUR AULIA

Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 241 Th.12)

 

Saudaraku,

Himmah dalam Bahasa Arab, artinya semangat kuat, tekad bulad, yang Allah berikan pada manusia dalam menempuh beragam keinginan. Keinginan itu, bisa berbentuk prestasi belajar, capaian ekonomi atau bisnis, aspek kekuasaan, dan lainnya, termasuk tentu saja keinginan dan obsesi dakwah yang tentu ada dalam diri para juru dakwah. Umumnya kita, memiliki himmah, meski mungkin berbeda sasarannya.

Yang penting kita ingat adalah, tercapainya tujuan dan capaian itu, tidak disebabkan, sarana, cara, metode, yang kita gunakan. Manusia memiliki keinginan, berusaha keras untuk mencapai keinginannya. Manusia memilih cara dan sarana yang diangap paling bisa mengantarkannya mencapai tujuan. Tapi keberhasilan atau kegagalannya, tidak ditentukan oleh cara dan sarana itu.

Saudaraku,

Dalam satu satu mutiara nasihatnya, Ibnu Athaillah mengatakan, “Sawaabiqul himam laa takhriqu aswaar al qadar.” Ibnu Athaillah dalam kitab Al Hikmahnya yang terkenal itu, mengambil istilah “aswaar al aqdaar” atau benteng takdir. Aswaar, secara bahasa biasa diartikan tembok perbatasan yang mengelilingi sebuah kota. Sebuah bangunan yang menyerupai pagar, tapi ini dibangun dengan bentuk yang besar, lebih kuat, dan biasanya lebih tinggi karena fungsi utamanya untuk menghalau atau menghambat serangan dari luar. Engkau tidak bisa menembus benteng takdir atau ketetapan Allah SWT itu dengan kuatnya tekad dan bulatnya semangat, atau hanya dengan mengandalkan kekuatanmu saja, begitu kira-kira terjemahan yang mudah dipahami dari perkataan Ibnu Athaillah tadi.

Syaikh Ramadhan Al Buthi saat menjelaskan nasihat Ibnu Athaillah itu mengatakan, “Wahai manusia, lakukan saja apapun yang engkau ingin dan berusahalah untuk mencapai hasilnya, apapun yang engkau mau. Tempuhlah sebab-sebab apa saja di ruang yang Allah SWT hamparkan untukmu. Kerahkan seluruh kemampuanmu. Tapi engkau harus tahu, bahwa semua sebab yang engkau tempuh itu, betapun kecanggihannya mennurutmu, ia tetap saja sebuah kenyataan yang mati bila harus berhadapan dengan ketetapan Allah dan hikmah-Nya yang telah ditentukan lebih dahulu saat sebab-sebab itu belum ada.”

Saudaraku,

Coba kita kaji dan dalami lagi kaitan ungkapan ini dengan apa yang mungkin kita alami sehari-hari. Bahwa orang yang begitu serius menempuh sebab-sebab memperoleh rizki misalnya. Ia harus meyakini bahwa upayanya menempuh sebab itu, tak menjadi penentu berhasil atau tidaknya ia memperoleh rizki. Bila kita berada disebuah lingkungan yang penuh dengan keharaman sampai kita terpaksa “harus” melakukan yang haram itu, seharusnya kita berfikir segera menyudahi keberadaan kita di sana dengan segala resikonya. Tapi ketika itu, biasanya, syaitan membisikan alasan lain, “Boleh jadi lingkungan ini merupakan sebab datangnya rizki Allah kepadamu. Sangat sulit mencari alternatif lainnya, bila engkau tutup peluang di sini.”

Jika kita memahami, salah satu prinsip akidah tentang ketetapan Allah SWT itu, kita bisa katakana pada syaitan, “Bila Allah SWT telah menetapkan aku memperoleh rizki yang banyak, maka rizki itu pasti akan datang padaku kemanapun aku akan pergi. Sebaliknya bila Allah menetapkan rizkiku sedikit, maka tetap saja rizki sedikit itu akan datang kepadaku, dimana saja aku pergi. Meskipun aku diam ditempat ini.”

Saudaraku,

Jadi untuk apa kita menempuh sebab-sebab bila akhirnya juga tergantung pada ketetapan Allah? Syarart yang harus ditempuh dua saja, pertama sebab-sebab itu harus sesuai dengan kehendak Allah SWT. Abaikan semua sarana, cara, prasarana, metode yang tidak sesuai dengan keinginan Allah SWT. Kedua, mengoptimalkan menempuh sebab-sebab yang ada untuk mencapai tujuan. Bukan dengan keyakinan penuh bahwa cara itu sangat efektif dan pasti berhasil. Tapi dengan landasan niat karena Allah SWT memang memerintahkan kita untuk berinteraksi dengan sebab-sebab dan cara-cara yang dikehendaki-Nya. Yakini juga bahwa efektifitas, kekuatan, kecanggihan sebab itu tunduk pada kehendak Allah SWT dan hikmah-Nya. Jadi buka sebab-sebab itu yang menguasai hati kita, melainkan Allah SWT yang menjadikannya.

Sauadaraku,

Salah satu bagian inti dari ketauhidan pada Allah adalah mengakui bahwa semua yang terjadi di alam ini, adalah mutlak kehendak Allah SWT. Tidak ada yang terlepas dari kuasa-Nya.

Contoh yang lebih sederhana adalah. Andai kita makan dan kenyang, maka yang menjadikan  kita kenyang itu bukan mekanan itu, melainkan Allah SWT. Bila kita minum air dan haus kita  hilang, yakinilah bahwa yang menghilangkan haus itu bukan air yang kita minum, tapi Allahlah yang menjadikannya demikian. Dan jika kita sakit, lalu meminum obat, jangan tergiring dengan minum obat atau dokter yang memberi resep obat itu yang menjadikan kita sembuh. Melainkan Allah SWT yang mengatur dan mengerakkan semua organ tubuh kita beraksi positif terhadap obat itu sehingga sembuhlah kita dari penyakit.

Karenanya, apapun hasil yang kita dapatkan, setelah memilih cara yang baik dan sesuai kehendak Allah, lalu melakukan usaha optimal untuk mencapai keinginan, jangan pernah lupa bersyukur “Alhamdulillah”. Ucapkan sepenuh hati pujian kepada Allah SWT yang telah memberikan semua itu. Apapun hasilnya. Termasuk ketika hasilnya tidak sesuai dengan keinginan kita. Berhasil atau gagalnya, tidak tergantung dengan sarana dan cara, bahkan tidak tergantung pada upaya kita, melainkan mutlak karena kehendak Allah SWT. Dia Yang tak pernah memberi keburukan kepada hamba-Nya, telah menetapkan kita untuk menerimanya.

Itu sebabnya, Rasulullah SAW bersabda, “Mintalah kepada Allah SWT dan jangan melemah (dalam meminta). Bila engkau ditimpa sesuatu jangan katakana “jika aku lakukan ini dan itu.. pasti akan ini dan itu.” Karena kata “jika” dalam hal itu membuka jalan untuk syaitan. Tapi katakanlah, “Allah telah menetapkan dan apapun yang diinginkan-Nya akan terjadi.” (HR. Muslim)

Kesempurnaan orang yang mengenal Allah SWT, bahkan digambarkan oleh Ali radhiallahu anhu. Ia mengatakan, “Jika kami menginginkan seuatu lalu sesuatu itu benar-benar terjadi, kami memuji Allah satu kali. Tapi bila sesuatu itu tidak terjadi, kami justru memuji Allah sepuluh kali. Karena kegagalan itu telah memperkuat ma’rifah kami kepada Allah SWT..”

Ingat saudaraku,

Bukan karena sebab, bukan karena usaha kita. Tapi, hanya karena kehendak Allah…

Tidak ada komentar: