Senin, 14 September 2020

“BISAKAH KITA BUKTIKAN KEIMANAN KITA”

 “BISAKAH KITA BUKTIKAN KEIMANAN KITA” KARYA M. LILI NUR AULIA

Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 242 Th.12)

 

Menekuni hadits dan sabda Rasulullah SAW, selalu menghasilkan nilai-nilai yang begitu dalam maknanya. Sabda Rasulullah SAW, disebut para ulama memiliki sifat “jawaami’ul kalim”, perkataan yang singkat, padat, berbobot. Seperti salah satu sabdanya yang kita coba renungkan kali ini. “Ada tiga sikap” kata Rasulullah SAW. “Bila ketiganya berkumpul pada diri seseorang, terhimpunlah maka keimanan dalam diri orang itu. Yaitu sikap objektif terhadap diri sendiri menyebarkan salam kepada siapapun (yang dikenal maupu yang tak dikenal) dan berinfaq di saat kebutuhan terhadap yang diinfaqkan.”

Perhatikanlah satu persatu sikap itu. Teliti perlahan. Lalu ucapkan subhanallah, Maha Suci Allah SWT yang memberikan ilham kepada Rasulullah SAW dalam perkataan sangat penuh nilai itu. Mari kita renungkan.

Saudaraku,

Sikap jujur meskipun pada diri sendiri, seimbang dalam menilai walaupun terhadap diri sendiri, objektif dalam menghukumi meski terhadap diri sendiri. Itu juga berarti mempertahankan sikap netral di saat kita berselisih dengan pihak lain. Artinya, kita tetap bisa memandang sisi baik orang yang berbeda dan kita anggap salah, dan sebaliknya bisa melihat sisi negatif yang mugkin ada dalam diri kita, saat kita menyalahkan perilaku orang lain. Sebagian besar orang mengatakan, sikap seperti itu mustahil dimiliki. Alasannya, hampir tidak ada manusia yang terlepas dari ke-akuan dan ego, sehingga dia akan sulit sekali memposisikan dirinya, sama, seimbang dalam menilai pihak lain yang sedang berselisih dengannya.

Saudaraku,

Biasanya, kita memiliki pandangan lebih istimewa terhadap diri kita sendiri. Atau, biasanya juga, kita akan selalu mencoba mencari sisi mana yang bisa membenarkan apa yang kita lakukan. Kita, bagaimanapun umumnya merasakan, memiliki unsur kebenaran yang lebih banyak ketimbang orangl lain. Lalu, bila kita dalam posisi sulit membela diri karena telah jelas melakukan kesalahan, kita menelisik dan mencari-cari, sisi-sisi mana yang masih mungkin diambil dan diangkat, agar sedikit banyak bisa menambah pembenaran kesalahan yang kita lakukan. Misalkan kita akan berusaha membenarkan sikap keliru yang kita lakukan, dengan melihat dari sisi niat atau keinginan baik yang kita lakukan. Sehingga, meskipun salah, setidaknya berniat baik. Poin niat baik itu yang mengandung unsur ego agar setidaknya bisa menambah sisi baik dari sebuah kesalahan. Atau, jika sudah benar mengakui salah, kita akan mengatakan, “saya memang salah, tapi mungkin cara mengungkapkannya yang salah. Sedangkan maksudnya adalah baik.” Begitulah.

Memang sulit sekali berlaku adil, objektif, jujur, tatkala harus berurusan dengan diri sendiri. Dan itulah sikap pertama yang bila dimiliki, menurut Rasulullah SAW, adalah bagian penting dari makna keimanan. Para ulama saat menguraikan hadits ini menjelaskan, bahwa orang yang jujur, yang adil, yang objektif, adalah orang yang mengenal dan mengakui apa yang dilakukannya. Mengakui terhadap diri sendiri bahwa ia telah melakukan sesuatu yang salah terhadap fulan. Atau mengakui bahwa ia telah berlaku merendahkan fulan.

Saudaraku,

Masih dalam konteks yang sama, sangat berbeda sekali bila kita melihat kesalahan yang sama  dilakukan oleh orang lain. Rasulullah SAW memberkan permisalan lain tentang hal ini. “Salah seorang kalian melihat bintik kotoran di mata saudaranya. Tapi ia melupakan kotoran yang ada di matanya sendiri.,” demikian dalam hadits riwayat Bukhari. Kita cenderung hanya melihat kesalahan pihak lain saja, tanpa mau membuka kemungkinan adanya kebenaran yang biasanya kita gunakan dalam menilai bila kondisi itu ada pada diri sendiri. Kita cenderung tidak melihat apa latar belakang, niat dan maksud orang yang kita anggap melakukan kesalahan itu. Kita juga biasanya tidak banyak memperhatikan sisi kebaikan orang itu. Apalagi bila berfikir, bahwa orang tersebut akan bertaubat, beristigfar dan menyesali kesalahannya, coba bandingkan dua hal itu.

Sikap yang sama juga harusnya berlaku bila kita berhadapan dengan suatu kelompok, organisasi atau lembaga. Tidak menisbatkan kesalahan seseorang dari kelompok tertentu, menjadi kesalahan semua orang yang ada dalam kelompok atau organisasi itu. Persis sama dengan keinginan kita, agar pihak lain tidak menyamaratakan kekeliruan satu dua orang kelompok kita, menimpa seluruh orang yang ada dalam organisasi itu, termasuk kita.

Saudaraku,

Sikap kedua dalam hadits di atas juga memiliki irisan makna yang jelas dengan sikap pertama. Meberi salam kepada siapapun, baik orang yang kita kenal maupun tidak kita kenal. Sepertinya mudah, tapi ini merupakan ciri dari ketawadu’an sekaligus keimanan seseorang.

Sedangkan sikap ketiga, berinfaq dengan sesuatu yang diperlukan. Mengeluarkan dan memberikan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan di saat kita sendiri sedang membutuhkan sesuatu itu. Pasti tidak mudah. Karena jiwa manusia, cenderung menahan apa yang ia miliki dan cenderung tidak memberikan kepada orang lain, sesuatu yang ia butuhkan. Maka, seandainya, ada orang yang memiliki sikap seperti ini, hampir dipastikan, tak ada kesombongan dalam dirinya, tidak ada ego dalam hatinya. Yang ada hanyalah empati., mendahulukan orang lain, yang otomatis berarti lebih menghargai orang lain.

Saudaraku,

Tiga sikap yang sungguh padat nilainya dan bukan mudah memilikinya. Tiga sikap yang saling berkait dan benar-benar menunjukan kualitas iman yang luar biasa bagi orang yang melakukannya. Bersikap jujur terhadap diri sendiri, tak memandang kondisi orang dalam bersikap baik dan bersikap baik, lalu memberikan kepada orang lain, dengan sesuatu yang sedang dibutuhkan.

Adakah di antara kita yang sanggup membuktikan keimanan kita dengan melakukan sikap-sikap itu semua?s

Tidak ada komentar: