Kamis, 17 September 2020

“KEBUTUHAN UNTUK DIAWASI”

“KEBUTUHAN UNTUK DIAWASI” KARYA M. LILI NUR AULIA

Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 247 Th.12)

 

Mari renungkan firman Allah SWT “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (QS. Al Fajr 14)

Anggapilah, bila diri kita, ada dalam sorotan kamera tersembunyi. Karena yang letaknya tidak terbuka, tapi bisa melihat gerak gerik kita di sebuah ruangan. Apa yang kita lakukan ketika itu? Biasanya, kita akan lebih berusaha untuk tampil stabil dan tenang. Sebab kita merasa ada orang yang memperhatikan gerak gerik kita. Kita, pasti akan lebih mampu mengontrol diri, menahan semua sikap yang tidak baik atau bahkan sama sekali tidak mau berfikir untuk melakukan sesuatu yang buruk. Karena itu tadi, kita ada yang mengawasi, ada yang melihat, ada yang memperhatikan.

Saudaraku,

Ini ilustrasi sederhana agar kita bisa memahami kata “murabatullah” atau merasa diawasi oleh Allah SWT. Manusia, selalu lebih berusaha melakukan yang terbaik, karena merasa dilihat. Perhatikanlah nasihat panjang yang disampaikan oleh Ibnu Abbas ra. “Suatu hari aku berada dibelakang nabi SAW, lalu beliau bersabda, “Whai Ghulam, sesungguhnya ku ingin mengajraknamu berapa kalimat (nasihat-nasihat), ‘Jagalah Allah, pasti Allah menjagamu, jagalah Allah, pasti kamu mendapati-Nya dihadapanmu. Bila kamu meminta, maka mintalah kepada Allah dan bila kamu minta tolong, maka minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah, bahwa jikalau ada seluruh umat berkumpul untuk memberikan suatu manfaat bagimu, maka mereka tidak akan dapat memberikannya kecuali sesuatu yang telah ditakdirkan Allah atasmu dan jikalau mereka berkumpul untuk merugikanmu (membahayakanmu) dengan sesuatu, maka mereka tidak akan bisa melakukan itu kecuali sesuatu yang telah ditakdirkan Allag atasmu. Pena-pena (pencatat) telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. at-Turmudzy, dia berkata, ‘Hadits Hasan Shahih’. Hadits ini juga diriwayatkan Imam Ahmad)

Hadits ini, menggambarkan bahwa bagaimana sesungguhnya makna dari pengawasan Allah SWT kepada hamba-Nya. Jauh dari arti sekedar pengawasan yang mengandung konsekwensi arti mendikte dan menghukum bila melanggar. Jauh juga dari arti sekedar memantau untuk mencari-cari kesalahan dan kekurangan. Pengawasan Allah SWT kepada kita, adalah bentuk kasih sayang-Nya. Sebab pengawasan Allah SWT pada kita itu, bisa bermakna penjagaan Allah SWT. Lihatlah hubungan timbal balik luar biasa yang ada di awal nasihat Rasullah SAW kepada Ibnu Abbas tadi, “Jagalah Allah, pasti Allah akan menjagamu. Jagalah Allah pasti kamu mendapatkan-Nya ada di hadapanmu.”

Di antara wujud penjagaan Allah lainnya tehadap hamba-Nya adalah menganugerahinya ketenangan dan kemantapan jiwa sehingga dia selalu berada di dalaam peyertaan khusus Allah. Allah berfirman ketika menyinggung tentang Musa dan Harun AS., “Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu beruda;  Aku mendengar dan melihat.” (QS. Thaaha :  46) Hal yang sama juga terjadi terhadap Nabi dan Abu Bakar Shiddiq saat keduanya berhijrah dan berada di gua, Rasulullah SAW, bersabda, “Apa katamu terhadap dua yang di mana Yang Ketiganya adalah Allah? Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita.” (HR. Bukhari, Muslim dan Turmudzy)

Saudaraku,

Ada banyak sekali cara yang bisa kita lakukan agar semakin bisa menanamkan rasa muraqabatullah itu. Rasulullah SAW bersabda, “Saya wasiatkan kepadamu agar malu kepada Allah sebagaimana kamu malu terhadap orang shalih di antaramu.” (HR. Ath Thabrani dan Al Baihaqi)

Siapa orang shalih yang memiliki nilai bagitu kuat dalam diri kita? Siapa orang yang cenderung kita hormati dan hargai? Apa yang kita lakukan bila ada orang shalih atau orang yang kita hormati itu datang kepada kita? Atau, apa yang kita lakukan bila kita ada di dekatnya? Bila dia mengajak kita untuk shalat berjamaah atau membaca Al Quran, misalnya. Apakah kita kuasa menolaknya?

Hingga salah seorang shalih mengatakan, “Salah satu sifat kemunafikan adalah menunggu sepinya orang. Bila sudah sepi ia mulai melakukan kemaksiatan. Merasa diperhatikan oleh manusia, namun sama sekali tidak merasa jika Allah SWT memperhatikannya.”

Cara lain untuk lebih mendalami muraqabatullah adalah dengan memunculkan rasa malu kepada malaikat pencatat amal, yang selalu mencatat seluruh perbuatan, termasuk tentu saja dosa baik yang kecil maupun yang besar. Tidak pernah lupa dan tidak pernah tidur. Merekalah saksi atas kebaikan dan keburukan kita. Mujahid, menguraikan nasihat indah setelah ia merenungi firman Allah SWT, surat Al Kahfi ayat 49 yang artinya,”Dan diletakkanlah kitab, lalu kalian akan melihat orang-orang yang bersalah, ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya. Dan mereka berkata, “Aduhai celaka kami,kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, malainkan ia mencacat semuanya..”

Majahid mengatakan, “Manusia banyak yang mengeluh atas perhitungan di akhirat, tapi mereka tidak pernah mengeluh atas kezaliman yang mereka kerjakan di dunia. Jangan sekali kali menganggap remeh dosa yang kalian kerjakan, karena dosa-dosa itu akan berkumpul dan bersama-sama akan mencelakakan pelakunya. Orang yang melakukan tindakan keji dengan sembunyi-sembunyi, ketika ia merahasiakan tindakan itu (sebenarnya) bukanlah termasuk perbuatan rahasia. Bagaimana bisa dianggap rahasia, padahal ada dua malaikat pencatat amal, sekaligus saksi di kanan kirinya.”

Saudaraku,

Duduklah di sini. Atau berdirilah. Atau lakukanlah apa yang kita ingin lakukan di sini. Hadirkanlah bahwa Allah SWT hadir bersama kita. Allah SWT, yang menjadikan kita ada di alam wujud ini, lebih mengutamakan kita di antara makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dia Memperhatikan, Melihat sekaligus Menjaga, Melindungi.

Rasakanlah kebutuhan kita untuk di awasi oleh Allah SWT, karena itu tanda bahwa kita juga akan mendapa perlindungan-Nya. “Bagaimana seseorang bisa hidup tenang jika ia mempunyai pasangan hidup yang tidak menyayangi, anak yang tidak patuh, tetangga yang memusuhi, teman yang tidak peduli, kawan yang tidak adil, lawan yang selalu menyerang, jiwa yang selalu mengajak pada keburukan, dunia yang penuh perhiasan, nafsu yang selalu ingin menjerumuskan, syahwat yang berupaya menundukkan, kemurkaan yang memaksa, syaitan yang memperindahkan keburukan dan kelemahan yang selalu mendominasi diri. Jika seseorang pasrah pada Allah, maka ia mampu menghadapi itu semua. Namun bila tidak segera memohon pertolongan Allah dan menanggungnya sendiri, maka semua akan menjadi beban berat bagi dirinya. Dan dia akan bisa binasa menghadapi itu semua. (Ibnul Qayyim, Al Fawaaid)

Tidak ada komentar: