Selasa, 22 September 2020

“LAWANLAH JUWAMU”

“LAWANLAH JUWAMU” KARYA M. LILI NUR AULIA

Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 245 Th.12)

 

Jiwa sangat membutuhkan energy harapan. Sangat ingin bebas dari duka dan kegundahan. Tidak ingin terlalu lama dibebani kesedihan dan terlilit rasa sempit. Ia, ingin terbang, sejuk, bebas dan tenang. Tapi memang terlalu banyak alasan masalah yang bisa membuat kita putus harapan, selalu dihantui gelisah dan terkurung oleh kesedihan. Kondisi hidup yang terasa jauh dari keinginan, meskipun memang tak pernah ada kehidupan yang selalu sesuai keinginan.

Saudarku,

Jangan biarkan jiwa tenggelam dalam gelombang laut yang terlalu dalam. Jangan pernah lepaskan pegangan tangan dan sandaran kita kepada langit. Mari gantungkan jiwa kepada Penciptanya. Meminta pertolongan dan menerima kekuatan untuk bisa bertahan dan stabil menyelesaikan misi hidup.

Perhatikanlah bagaimana Rasulullah SAW menggantungkan jiwa sahabatnya kepada Allah, di saat ia terancam hanyut dalam duka. Dalam sejarah para sahabat, ada kisah Auf bin Malik Al Asyja’I radhiallahu anhu yang mendatangi Rasulullah SAW sambil mengatakan, “Ya, Rasulullah putraku ditahan oleh musuh. Ibunya sangat terpukul dan berduka dengan hal itu. Apa yang engkau perintahkan kepadaku dan istriku?” Rasulullah SAW bersabda, “Aku perintahkan engkau dan istrimu untuk memperbanyak ucapan, “Laa haula wa laa quwwata illaa billah…” (Tidak ada daya dan kekuatan kecuali milik Allah). Kedua suami istri itu lalu memperbanyak bacaan sebagaimana diperintahkan Rasulullah  SAW. Hingga suatu hari, pihak musuh lalai mengawasi putranya yang sedang ditawan. Sang anak berhasil lolos dan lari dari tahanan menemui Auf bin Malik. Saat itu, turun firman Allah SWT, “wa man yattaqillaha yaj’al lahu mukhrajaa” (Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya akan Allah berikan kepadanya jalan keluar).

Saudaraku,

Itulah salah satu cara Al Quran dan bagaimana Rasulullah SAW membina dan memperkuat jiwa. Jiwa kita harus dididik, dibina, dilatih, agar tetap kuat. Kedekatan jiwa kepada Allah SWT, sejalan dengan kekuatannya. Lalu mengikatnya kekuatan jiwa, adalah kemampuan melewati berbagai persoalan hidup yang terlihat pada kemampuan seseorang menghadapi ragam tekanan.

Begitulah. Kecenderungan jiwa yang melemah, tidak boleh dibiarkan. Keinginannya untuk selalu lambat, juga jangan didiamkan. Keinginan dan kehendak nafsu tak boleh menjadi dominan dan lalu menjadi kebiasaan.

Karena itulah, para ulama banyak yang mengajak untuk agar kita mampu menundukkan dan melawan keinginan nafsu. Mereka mengatakan, bahwa melatih dan mengontrol gerak kehendak nafsu itu sebenarnya merupakan kekuatan. Sebagaimana mereka kerap menganjurkan kita melatih dan memaksa diri agar tidak tunduk pada kebiasaan yang dikendalikan oleh nafsu, dengan anjuran berpuasa menahan lapar dan shalat malam menahan kantuk. Di antara mereka juga mengarahkan kita untuk menyendiri untuk tafakkur, dan menghindari keinginan nafsu untuk terlalu banyak berbaur. Mengajak kita untuk berlatih diam, menjauhi keinginan nafus yang ingin banyak bicara. Menganjutkan kita untuk itikaf tinggal di masjid, untuk memberikan ruang penguasaan jiwa dalam keimanan.

Hingga ada seorang ahli hikmah yang menyimpulkan hal itu dengan ungkapan, “Jika engkau ingin perilakumu bersih dan keadaanmu diridhai, sedikitlah melakukan kebiasaan yang buruk. Karna kebiasaan itu akan menghalangi dirimu mendapatkan hikmah.” Artinya, bila kita ingin memetik hikmah, lawanlah jiwamu dengan melakukan kebalikan apa yang telah terbiasa dilakukan oleh jiwa, agar berubah menjadi ketaatan dan ibadah. Secara singkat, hal ini tersimpul dalam perkataan Ibnu Athaillah rahimahullah, “Man khariqa al ‘awaa-ida zhaharat labu al fawaa-idu” (siapa yang berhasil melawan kebiasaan, akan tampak kepadanya hikmah)

Saudaraku,

Mari perhatikan bagaimana Ibnu Athaillah mengaitkan antara melawan kebiasaan dengan kemampuan seseorang memiliki kejernihan, kecerdasan, keimanan yang tersimpul dalam kata hikmah. Hingga dari perkataan ini, Ibnu Athaillah juga mengatakan, “Jika engkau bingung memilih antara dua hal, pilihan apa yang paling berat dari keduanya bagi nafsumu, lalu ikutilah itu. Karena sesungguhnya, nafsu tidak akan merasakan berat melakukan sesuatu kecuali karena sesuatu itu benar.” Dengan kata lain, semua yang dirasakan berat oleh nafsu, harus dilakukan karena itu adalah yang benar. Dan semua yang dirasakan ringan oleh nafsu, adalah kebatilan. Ia lalu mengatakan, “Senantiasalah gerakkan jiwamu agar terus menerus bisa menerima keinginanmu atasnya.”

Ini bukan menandakan kita harus menghapus nafsu dan keinginan jiwa. Ini merupakan ajakan agar kita mampu seimbang menyikapi rongrongan jiwa. Sebab, menghapus keinginan nafsu juga berbahaya, seperti kita membiarkan nafsu itu hidup liar. Buya Hamka, memiliki kalimat indah tentang hal ini. Katanya, “Jika engkau lihat salah satu anggota kerajaan hati itu melanggar undang-undang hidup, yaitu salah satu dari syahwat dan marah, hendaklah engkau lawan sepenuh tenaga. Jika dia kalah, sekali-kali jangan dibunuh, karena kerajaan hati itu tidak akan baik kondisinya, kalau keduanya tidak ada.”

Saudaraku,

Semoga Allah memberi keberkahan untuk Abdullah bin Rawahah radhiallahu anhu, yang meninggalkan contoh untuk kita dalam melawan nafsu dan jiwanya di saat yang tepat. Ketika ia ragu berjuang di tengah kecamuk perang Mu’tah, ia pun bertutur kepada jiwanya, “Aku bersumpah kepada jiwaku, bahwa engkau harus turut berjuang. Engkau harus berjuang atau aku yang akan memaksamu berjuang..”

Saudaraku,

Teruslah berjuang dan bergerak. Atau bila tidak, kita sendirilah yang akan memaksa diri untuk berjuang dan bergerak.

Tidak ada komentar: