“PAKSA HINGGA TERBIASA…” KARYA M. LILI NUR AULIA
Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 234 Th.12)
Mendidik dengan membiasakan. Dahulu konsep ini banyak digunakan para ulama dan salafushalih dalam mendidik diri dan anak-anak mereka. Abdullah bin Mubarak rahimahullah mengatakan,”Sesungguhnya orang-orang shalih dahulu melakukan kebaikan secara spontanitas dan tidak disengaja. Sedangkan kebiasaan kita sekarang melakukan kebaikan dengan paksaan. Karenanya, kita harus memaksa jiwa untuk melakukan kenaikan.” (Mukhtashar Minaj Al Qasbidin, 461)
Faktor kebiasaan penting dalam membentuk pribadi seseorang. Baik atau buruk. Seorang yang terbiasa melakukan kebaikan, ia akan begitu mudah dan mungkin secara spontan melakukan kebaikan itu. Ia justru merasa tidak nyaman, bila kebaikan yang biasa dilakukannya, tidak dilakukan. Sama juga dengan orang yang terbiasa melakukan keburukan, ia akan lebih mudah melakukan keburukan, dan mungkin sangat tidak merasakan lagi bahwa yang dilakukannya itu adalah keburukan.
Saudaraku,
Jiwa kita, umumnya, tidak mudah melakukan ketaatan secara sukarela, melainkan sesudah ditempa dengan pembinaan dan pelatihan melalui kebiasaan. Sampai kita merasakan ketaatan itu menjadi satu sikap yang ringan dilakukan. Ahmad bin Tsa’labah rahimahullah bercerita tentang sahabatnya Salim Al Khawas. Katanya, “Aku mendengar Salim Al Khawas mengatakan, “Aku dahulu membaca Al Quran, tapi aku tidak merasakan nikmat saat membacanya. Lalu aku berbisik kepada jiwaku, “Bacalah seolah engkau mendengarnya langsung dari Rasulullah SAW.” Selanjutnya, aku sedikit merasakan kenikmatan dalam tilawah Al Quran. Dan aku katakana lagi pada jiwaku, “Bacalah seolah engkau mendengarnya langsung dari malaikat Jibril saat menyampaikan Al Quran kepada Rasulullah SAW.” Lalu bertambah lagi rasa nikmatku membaca Al Quran. Kemudian aku katakana lagi pada jiwaku, “Bacalah seolah-olah engkau mendengarnya langsung Rasulullah SAW ketika berbicara kepadamu.” Maka, kenikmatan tilawah itu pun bertambah lagi.” (Hilyatun Aulliya,8/279)
Begitulah salah satu contoh bagaimana orang-orang shalih generasi tabiin akhirnya meraih kenikmatan dalam melakukan ketaatan. Satu tahap demi satu tahap mereka berpindah hingga mencapai apa yang sangat ia inginkan. Mereka berusaha mencari celah untuk bisa memper baiki kondisi dirinya, dengan memaksa jiwanya sendiri.
Saudraku,
Ucapkan Alhamdulillah. Bila kita sudah memiliki kebiasaan tertentu dalam ketaatan. Bersyukurlah pada Allah SWT, bila kita sudah merasakan situasi yang kurang nyaman bila ketaatan itu kita tinggalkan. Merasa berat justru tatkala sedikit melakuka amal shalih. Merasa tak tenang justru saat berjarak dengan kebaikan. Dan yang pasti, selain dari rahmat Allah SWT, semua itu tidak kita miliki setelah kita memaksakan diri untuk melakukannya pada awalnya, dalam waktu yang tidak sebentar.
Lalu pertanyaan lain yang penting kita renungkan adalah, berapa banyak waktu yang kita lewati secara berulang-ulang tanpa ketaatan.?
Saudaraku.
Generasi kita dahulu adalah generasi yang tak suka dengan keadaan yang tanpa beramal. Mereka melatih anak-anak mereka dengan sesuatu yang cenderung berat. Mereka didik anak-anak mereka dengan kebiasaan yang baik. Abdullah bin Abdul Malik mengatakan, “Dahulu kami bersama ayah kami berada di sebuah perjalanan. Ayah kami mengatakan, “Bertasbihlah kepada Allah sampai kalian mencapai pohon yang disana.” Lalu kamipun bertasbih hingga kami sampai ke pohon yang ditunjuk ayah. Dan jika terlihat pohon lainnya di sebuah lembah, ayah akan mengatakan lagi, “Bertakbirlah kalian hingga kalian sampai ke pohon itu.” Dan itupun sekaran kami praktikkan kepada anak-anak kami.” (Az Zuhdu, Imam Ahmad, 279)
Seperti itulah, sampai akhirnya ucapan tasbih dan takbir menjadi kebiasaan yang sulit dilepaskan dari kehidupan mereka. Dalam kitab Az Zuhdu, disebutkan diantara orang-orang shalih itu ada mengatakan, “Kami memaksakan diri melakukan sesuatu sampai kami terbiasa dengannya.” Abu Adi mengatakan, “Daud bin Abi Hind datang kepada kami lalu mengatakan,”Wahai anak muda, saya sampaikan kepadamu semoga bermanfaat untukmu. Dahulu aku saat masih anak-anak pergi ke pasar. Dan ketika aku pulang aku memaksakan diriku untuk berdzikir kepada Allah hingga aku mencapai tempai ini dan itu. Lalu bila aku mencapai tempat itu, aku paksakan diriku untuk berdzikir hingga ketempat lainnya. Demikianlah, hingga akhirnya aku sampai rumah.”
Saudaraku,
Orang-orang shalih bahkan berfikir kreatif untuk membiasakan prilaku baik bagi orang-orang sekitarnya. Di antara ide kreatif itu, dipraktikkan oleh seorang tabi’i yang bernama Zubaid Al Yami. Ia adalah seorang muazzin hingga mebiasakan anak-anak di sekitar masjidnya untuk melakukan shalat berjamaah. Ia selalu mengatakan, “Mari ke sini, shalatlah, nanti aku berikan minuman.” DIpanggil seperti itu, maka anak-anak kecil segera datang dan shalat di masjid, kemudian setelah selesai mengelilingi Zubaid. Ia di tanya, “Mengapa kau lakukan ini?” Ia mengatakan, “Taka da artinya aku membelikan mereka minuman seharga lima dirham, tapi mereka akan terbiasa melakukan shalat.”(Az Zuhdu 5/3)
Kreatifitas serupa terkait pembiasaan dengan kebaikan juga dilakukan oleh Sulaiman At Taimi. Ia mengajak anaknya untuk melakukan umrah dan berjalan berkeliling dari satu masjid ke masjid lainnya di waktu malam. Ia lalu shalat di satu masjid dan shalat di masjid lainnya, untuk mengajarkan anaknya shalat.
Saudaraku,
Tak hanya latihan untuk shalat yang dipraktikkan generasi shalih kita terdahulu. Tapi bahkan latihan dalam menghadapi orang lain. Ini penting, sebab tanpa dilatih tidak jarang anak-anak menjadi sosok yang nyaris tidak bisa bicara dan mengeluarkan kata-kata saat berhadapan dengan banyak orang. Lihatlah sikap Hasan Al Bashri rahimahullah yang mengunjungi rumah saudaranya. Ia mengatakan pada salah satu anak-anaknya, “Ceritakanlah di hadapan kami nak.” Saudara Hasan Al Bashri mengatakan,”Kami belum terbiasa menyampaikan hal ini wahai Abu Said.” Hasan Al Bashri rahimahullah lalu mengatakan, “Siapa diantara kita yang telah menyampaikan hal ini. Saya khawatir syaitan memanfaatkan kondisi ini. Di mana manusia akan meninggalkan sikap saling menasihati dengan alasan bahwa mereka tidak terbiasa dan tidak pantas menasihati. Demi Allah, seandainya Allah tidak memerintahkan para ulama berbicara, niscaya mereka akan diam.”
Saudaraku,
Apa yang ada di benakmu saat ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar