Rabu, 27 Januari 2021

HAYATUN THAYYIBAH

“HAYATUN THAYYIBAH” KARYA M. LILI NUR AULIA

Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 252 Th.13)

 

Bunuh diri. Apa yang menyebabkan orang melakukan bunuh diri? Kesulitan hidup, tekanan ekonomi, ditinggal orang yang dicinta, keadaan yang jauh dari harapan, kehilangan sesuatu yang sangat diandalkan? Tingkat bunuh diri tertinggi di dunia ada di sejumlah Negara bekas Uni Soviet dan sejumlah Negara Barat seperti Berlgia dan Prancis. Negara-negara itu, barang kali tidak ada dalam peta Negara miskin yang kehidupan penduduknya sulit. Tapi megapa mereka tetap menyandang predikat tertinggi dalam soal bunuh diri?

 

Saudaraku,

Perilaku bunuh diri merupakan lambing sikap yang memasuki fase jiwa yang begitu terbebani dan terbelenggu oleh rasa putus asa. Lalu, bagaimana seseorang bisa terlepas dari belenggu itu? Bukankah kita semua merasakan bahwa persoalan yang kita alami, lebih berat dari persoalan orang lain?

Al-Quran memiliki satu istilah istimewa tentang hidup. Dalam surat An Nahl ayat 97, Allah SWT berfirman, “Barang siapa yang beramal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dan dia beriman, maka kami akan hidupkan dia dengan hayaatan thayyibah (kehidupan yang baik)…” Dalam Al Madaarij As Saalikiin, Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Allah mengkaruniakan “hayaatan thayyibah” untuk orang-orang yang kenal dengan-Nya, yang mencintai-Nya dan beribadah kepada-Nya. “Hayaatan thayyibah” yang disebutkan dalam ayat itu adalah kombinasi rasa qana’ah (puas) dan ridha. Ia merupakan kehidupa kalbu, kenikmatan hati, rasa bahagia karena keimanan dan ma’rifah kepada Allah SWT, serta merasakan dekat bersandar pada Allah SWT. Tidak ada kehidupan yang lebih baik dari kehidupan seperti itu, dan tidak ada kenikmatan yang melebihi rasa nikmatnya kecuali kenikmatan surge.”

Saudaraku,

Ibnu Abbas radhiallahu anhu bahkan menafsirkan hayaatan thayyibah dengan rizki yang halal dan thayyib. Sebagaimana Adh Dhahhak rahimahullah yang juga menyebutnya sebagai rizki yang halal, ibadah di dunia, ketaatan dan rasa tentram dalam hati dengan itu semua. Intinya, hayaatan thayyibah itu mencakup semua. Gambaran kenikmatan itulah yang kemudian menjadikan Ibnu Adham rahimahullah mengatakan, “Bila raja-raja dan para pangeran itu mengetahui apa yang kami rasakan dari kebahagiaan dan kesenangan, niscaya mereka akan merampas perasaan kami itu dengan pedang.” Penjelasan kalimat ini diuraikan oleh Ibnul Jauzi rahimahullah. “Benarlah Ibnu Adham dalam perkataannya. Penguasa bila makan sesuatu khawatir bila di dalamnya terdapat racun. Lalu bila tidur khawatir di bunuh. Dia seperti terpenjara di belakang ruang terkunci dimana ia tak berani keluar dari ruangan itu. Bila ia kelua, ia akan menjadi orang yang paling gelisah. Kenikmatan baginya sudah membeku. Ia mungkin tidak lagi menikmati lezatnya makan dan menikah.”

Saudaraku,

Ada contoh sangat baik bagi kita untuk menggambarkan bagaimana kebahagiaan itu begitu kuat tertanam dalam kalbu seorang beriman. Yakni saat seseorang mengalami situasi lahir yang sangat kontras dengan keadaan jiwanya. Kita bisa melihat bagaimana kondisi hidup yang di alami oleh Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah seperti diceritakan muridnya, Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah.

Katanya, “Aku mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bertasbih kepada Allah SWT lalu mengatakan, “Sungguh di dunia ada surga, siapa yang belum memasukinya maka dia tidak akan masuk surga akhirat.” Saat berada di dalam penjara, Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Bila kau penuhi seluruh ruangan ini dengan emas, itu tidak bisa mencukupi syukurku terhadap nikmat yang Allah berikan aku saat di penjara ini.” Ia juga mengatakan, “Memangnya apa yang bisa dilakukan musuh-musuhku terhadapku? Surgaku dan tamanku ada di dalam dadaku. Dimana pun aku ada maka ia selalu bersamaku dan tak pernah berpisah dariku. Penjara bagiku adalah khalwat ku dengan Allah SWT, membunuhku adalah kematian di atas jalan syahadah, mengusirku adalah wisata bagiku.” Dalam kondisi terpenjara dan tangan terikat, dalam sujudnya ia mengatakan, “Ya Allah, bantulah aku untuk selalu berdzikir kepada-Mu, mensyukuri nikmat-Mu….” Ia juga mengatakan, “Orang yang sebenarnya dipenjara adalah orang yang hatinya dipenjara dari kedekatan dengan Rabbnya. Orang yang dibelenggu adalah yang dibelenggu oleh hawa nafsunya.”

Saudaraku,

Ungkapan-ungkapan itu bukan hanya ada di bibir. Tapi dalam prilaku dan sikapnya, Ibnu Taimiyyah rahimahullah bernar-benar tampil sebagai orang yang bahagia dan senang. Ibnul Qayyim menggambarkan kondisi gurunya itu. Katanya, “Allah mengetahui, aku tidak melihat seseorang yang kehidupannya lebih baik dari dirinya, meskipun ia mengalami kesempitan hidup, ditahan, dipenjara, diancam, disiksa. Tapi meski begitu, ia kulihat sebagai orang yang paling banyak hidupnya, paling lapang dadanya, paling kokoh hatinya,paling senang jiwanya, sehingga wajahnya selalu memancarkan cahaya kenikmatan. Behkan bila kami tengah tertekan oleh rasa takut, dihantui oleh kekhawatiran, kami datang menemuinya. Kami hanya melihatnya dan mendengarkan perkataannya, selanjutnya kami pamit pergi dan hati kami telah menjadi lapang, lebih kuat, yakin dan tenang dalam keimanan kepada Allah SWT.” Perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah tentang gurunya, yang menggetarkan adalah, “Maha Suci Allah yang telah memperlihatkan syurga-Nya kepada hamba-Nya sebelum ia bertemu dengan-Nya. Allah yang telah membukakan pintu surga untuk orang-orang seperti itu di dunia sebagai tempat beramal. Allah telah mendatangkan pada mereka ruh surga, semerbak wangi surga, yang mampu membangkitkan lagi kekuatan mereka untuk mencarinya dan mendorong mereka untuk berlomba mencapainya.” (Al Waabl Ash Shaib, Ibnul Qayyim)

Saudaraku,

Ada apa dengan diri kita? Mengapa masih merasa tertekan, dikecewakan, miskin harapan, tak percaya diri, larut berduka? Bangdingkanlah kehidupan kita ini dengan apa yang dialami oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah itu. Sampai-sampai para salafushalih mengatakan, “Kasihan sekali ahli dunia, mereka tinggalkan dunia tapi mereka belum merasakan kenikmatan yang ada di dalamnya.” Mereka bertanya, “Apa yang paling nikmat di dunia?” Dikatankan, “cinta pada Allah, merasa dekat dengan Allah, rindu bertemu dengan Allah dan menghadap Allah, dan berpaling dari selain-Nya..”

Mari letakkan hati kita dalam wadah keimanan dan cinta pada Allah SWT. Lalu, lihatlah bagaimana sebenarnya kondisi hidup kita di dunia.

Tidak ada komentar: