Kamis, 28 Januari 2021

YA RABB TAMBAHKAN MA’RIFAH KAMI

“YA RABB TAMBAHKAN MA’RIFAH KAMI” KARYA M. LILI NUR AULIA

Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 214 Th.11)

 

Saudaraku,

Dengarkanlah sabda Rasulullah SAW. “Orang yang telah merasakan lezatnya iman adalah: Yang telah ridha dengan Allah sebagai Tuhannya. Yang telah ridha dengan Islam sebagai agamanya. Yang telah ridha sebagai Muhammad shallalahu alaihi wa sallam sebagai Rasulnya.”(HR. Muslim)

Ridah secara Bahasa artinya suruur al qalb wa thiibu an nafs, yakni kegembiraan hati dan kebanggaan jiwa. Lawannya adalah rasa marah dan benci. Al Hanafiyah memaknai ridha dengan kalimat: Sesuatu yang sudah mencapai puncaknya hingga terlihat di permukaan. Dalam bentuk sikap, maka keridhaan harus muncul dalam keceriaan di wajah. Ridha kepada Allah jelas bukan berarti mendorong seseorang untuk senang dan nyaman dengan jesulitan dan kemiskinan. Nilai-nilai Islam bertolak belakang dari sikap kerendahan seperti ini. Ridha dengan apa yang telah diberikan Allah, artinya tetap bersyukur sambil terus berusaha untuk bisa mendapatkan yang lebih baik.

Bagaimana keridhaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala bisa diterjemahkan dalam kehidupan seseorang? Dan siapakahorang yang paling ridha dengan makna sepserti itu.

Saudaraku,

Jika ada orang lahir dalam keadaan yatim dan hidup dalam kepahitan,lalu ia tetap ridha. Jika ada orang hidup sangat sederhana dan hingga suatu ketika ia harus mangganjal perutnya dengan batu karena lapar, tapi ia tetap ridha. Jika karena minimnya harta yang ada di tangannya, sampai ia perlu meggadaikan baju perangnya kepada seorang Yahudi, tapi ia tetap ridha. Jika seseorang tidur di atas tikar tembikar sampai terlihat goresan tikar di tubuhnya, namun keridhaannya tak berubah. Ia tetap ridha dengan Allah sebagai Rabbnya, dan itulah yang mengisi seluruh sudut hatinya. Dialah manusia paling ridha yang taka da tandingannya. Dan dialah, Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam.

Sekali lagi, keridhaan artinya perasaan lapang, ketenangan hati, jiwa yang damai. Ridha dengan kondisi hari kita dan yakin dengan kondisi esok kita. Itulah Ridha, Ridha dengan Allah sebagai Tuhan kita, ridha dengan Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam. Ridha dengan jiwa kita, ridha dengan seluruh alam semesta. Ini semuanya adalah harta kekayaan ruhani yang begitu mahal. Dan itu tidak mungkin dimiliki, kecuali hanya orang beriman saja. Tanpa iman, orang akan mudah  terpicu oleh sikap egois, dengki, marah. Marah kepada dirinya sendiri. Marah kepada apapun yang ada di sekitarnya. Hingga marah dan memunculkan pertanyaan, “Kenapa saya dilahirkan di dunia?”

Saudaraku,

Dahulu ada seorang laki-laki yang benar-benar tidak memiliki sikap ridha. Abu Ala Al Ma’arri namanya. Ia mengatakan, “… Ayah ibuku telah berlaku kriminal kepadaku sehingga aku lahir di dunia ini. Padahal aku tak melakukan tindak kriminal pada siapapun…” Perhatikan, bagaimana penderitaan hidup yang dialaminya telah menggiring pada kebenciannya dilahirkan ke dunia karena sebab kejahatan kedua orang tuanya. Hubungan suami istri yang dilakukan ayah ibunya, dianggap sebagai kejahatan tak terampuni. Karena dengan hubungan yang di anggap jahat itu, dirinya lahir ke dunia yang penuh persoalan dan penderitaan. Begitu kuatnya anggapan seperti ini dalam diri Al Ma’arri, hingga ia menghina kaum laki-laki yang menikah dan iapun menyatakan diri takkan menikah agar tidak berlaku criminal terhadap siapaun.”

Saudaraku,

Tapi lihatlah ada orang lain yang justru berada disurganya keridhaan. Imam Syafii mengatakan, “Aku hidup dan aku bisa memperoleh makan. Bila aku mati, aku pasti mendapatkan petak tanah untuk kuburku. Semangat dan ketinggian obsesiku adalah milik para jiwa. Jiwaku adalah jiwa yang merdeka. Aku memandang kehinaan itu pada kekufuran, bukan pada lainnya. Jika ku mendapatkan makanan yang bisa menambah umurku. Mengapa aku harus takut pada Zaid atau Umar?”

Imam Syafii dalam ungkapannya itu, melukiaskan kepada kita bagaimana seakan syurga sudah menjadi miliknya. Ia memang hidup dalam syurga keridhaan. Selama hidup, menurutnya, ia takkan kehabisan makanan. Dan karenanya, ia tak menemui alasan untuk bersedih. Makanan sudah dijamin ada, dalam arti tidak mungkin mati kelaparan. Jika matipun, tak mungkin seluruh tanah ini tertutup untuk bisa menjadi liang kubur. Imam Syafii ingin menggambarkan bahwa dalam kehidupan ini sudah ada yang menjamin dan rizki itusudah terbagi-bagi. Intinya adalah, qana’ah. Dan itu adalah ridha.

Wahib bin Al Wurd pernah berkumpul bersama Sufyan Ats Tsauri dan Yusuf bin Asbath. Sofyan Ats Tsauri mengatakan, “Tadinya aku ingin mati mendadak hari ini, tapi sekarang aku ingin seandainya telah menjadi mayat.” Yusuf bertanya, “Kenapa begitu?” Sofyan menjawab, “Aku khawatir dengan adanya fitnah.” Yusuf menyambung. “Tapi aku ingin hidup selamanya dan tak ingin mati.” Sofyan Ats Tsauri mengatakan, “Kenapa engkau takut pada mati?” Yusuf mengatakan, “Aku hanya selalu berharap, ada suatu hari dimana aku berada dalam amal shalih dan melakukantaubat dari kesalahan dengan sebenar-benarnya taubat.” Yusuf lalu bertanya kepada Wahab, “Apa yang ingin engkau katakana, “Saya memilih sesuatu yang lain dari yang kalian katakana. Dan apa  yang aku inginkan itu, aku harus pasti dicintai Allah SWT.” Sofyan Ats Tsauri mengatakan, “Keimanan dalam jiwamu bagus, demi Allah…”

Saudaraku,

Mari kita simak lagi kisah-kisah salafushalih. Al Ashama’I mengatakan, “Aku melihat seorang ibu dari dusun Arab, ia termasuk wanita yang wajahnya cantik. Tapi dia mempunya suami yang wajahnya buruk.” Aku pernah berkata pada perempuan itu, “Mengapa kamu mau menjadi istri dari suami seperti itu?” Ia menjawab, “Mungkin itulah yang terbaik dari Allah SWT untuk dirinya, lalu Allah menjadikan diriku sebagai pahala untuknya. Jika aku berbuat tidak baik kepadanya, berarti aku tidak ridha dengan sesuatu yang Allah ridha kepadanya?”

Dari mana datangnya ridha?

Menurut Ibnul Jauzi, “Ridha itu adalah kumpulan dari buah-buah ma’rifah. Bila engkau ma’rifah dengan Allah subhanahu wa ta’aala, maka engkau akan ridha dengan ketetapan-Nya. Semakin tinggi ma’rifah seseorang kepada sesuatu yang dicintainya maka sesuatu yang harusnya pahit dan sulit bisa berubah menjadi nikmat dan manis. Seperti dalam syair. “Siksanya bagimu kenikmatan, jauhnya dia darimu itu adalah dekat.”

Ya Rabb, tambahkan ma’rifahi kami kepada-Mu…

Tidak ada komentar: