Jumat, 19 Februari 2021

BERSYUKURLAH TANPA PUTUS

 “BERSYUKURLAH TANPA PUTUS”

Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 104 Th.7)

 

Saudaraku,

Ada banyak keterlibatan kita dalam hidup, di mana kita lebih bisa meraba kesulitan, dari pada meraba kemudahan. Kita, lebih pandai memikirkan beban hidup, ketimbang keringan beban hidup yang pasti kita rasakan. Kita lebih sering merasakan hidup ini dari sudut penderitaan, tumpukan masalah, beban jiwa yang berat, tapi sangat jarang melihat hidup dari sisi kegelapan, kesenangan, kemudahan, yang lebih banyak kita terima.

Mari merenung sejenak. Pejamkan mata dan hadirkan bagian-bagian dari episode kehidupan yang sudah kita lalui. Rasakan peristiwa hidup mana yang begitu menggelayut berat dalam jiwa kita. lalu lihatlah peristiwa hidup mana yang ternyata bernilai kemudahan, keringanan, keluasan yang kita rasakan dan lalui dalam hidup ini. Taddaburkanlah firman Allah SWT, “Maka, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al Insyirah : 5-6)

Hitunglah saudaraku,

Adakah bagian penderitaan lebih dominan dalam hidup kita? Atau bagian keringanan, kemudahan, kelapangan, yang lebih banyak kita rasakan? Kesulitan tidak akan berdiri sendiri. Karena dalam kesempitan, pasti ada keluasan yang diberikan Allah untuk kita. Karena dalam kesusahan, pasti ada kemudahan yang dihamparkan-Nya untuk kita.

Saudaraku,

Ucapkanlah, “Alhamdulillah” dengan sepenuh nafas dan penghayatan yang dalam. Syukurilah semua fase hidup yang kita alami di sini. Karena ternyata seluruh ruang fase kehidupan kita tak pernah terlepas dari limpahan rahmat Allah. Segenap gerak dan langkah kita di sini, selalu diikuti dengan kucuran karunia Allah yang melimpah ruah. Semua peristiwa yang kita alami di sini, selalu berada di bawah naungan cinta Allah. Semuanya. Seluruhnya.

Saudaraku,

Limpahan harta, kenikmatan hidup secara fisik, kebaikan pandangan kasat duniawi manusia, sama sekali bukan simbol bahwa kasih sayang Allah kepada orang yang mengalaminya lebih dari orang lain yang tidak merasakannya. Keindahan rupa, kebagusan pandangan, kenikmatan lahir, juga tidak menjadi tanda bahwa Allah lebih mencintai orang-orang yang memilikinya ketimbang orang yang tidak mengalami keadaan seperti mereka. Kesuksesan, keberhasilan, keunggulan, sekali-kali tidak menjadi rambu bahwa orang yang mengalaminya lebih dikasihi dan lebih dicintai oleh Allah ketimbang orang yang gagal dan kurang prestasinya di mata manusia.

Ingat saudaraku,

Tingkat kemuliaan seorang hamba dan kecintaan Allah kepadanya, tergantung tingkat keistiqamahannya dalam melakukan amal-amal taat pada Allah, ketundukannya untuk tetap berada dalam jalur keridhaan Allah SWT. Dunia, bisa dimiliki oleh semua orang. Kebagusan, keindahan, kenikmatan, kesuksesan, bisa dipunyai oleh siapa saja. Kafir maupun Mukmin, pelaku maksiat maupun orang yang taat, pendusta maupun orang yang jujur. “Sesungguhnya Allah memberikan dunia kepada orang yang Ia cintai dan orang yang tidak Ia cintai. Tapi Allah tidak memberikan nikmat agama kecuali pada orang yang Ia cintai. Barang siapa yang diberikan agama oleh Allah, maka sesungguhnya Allah telah mencintainya.” (HR.Ahmad)

Saudaraku,

Harta memang tak menjadi jaminan kebenaran dan cinta Allah SWT. Dahulu, Rasulullah SAW justru tidak memberikan harta kepada orang yang ia cintai. Disebutkan dalam Fathul Bary, suatu hari Rasulullah SAW membagi-bagikan hartaghanimah kepada sebagian sahabat lainnya. Pembagian yang terkesan tidak adil itu lalu menjadi bahan pembicaraan di kalangan sahabat radhiallahu anhum. Rasul SAW kemudian menjelaskan, “Sesungguhnya aku memberikan harta kepada seseorang dan juga tidak membiarkan orang yang lain. Tapi orang yang kutinggalkan (tidak kuberi harta) itu lebih aku cintai daripada orang yang aku berikan harta. Aku memberikan harta kepada orang yang ada dalam hatinya rasa khawatir dan gelisah. Dan aku membiarkan orang lain (yang tidak aku berikan harta) karena di dalam hatinya ada kekayaan dan kebaikkan.” (Fathul Bary, 13/511)

Karena itu saudaraku,

Jika kita sedang melewati ujian hidup, buang jauh-jauh bayangkan keputusasaan kita dari rahmat Allah SWT. Apapun fenomena hidup ini tidak boleh membalik sudut pandang keimanan kita. Karena kebaikan di dalam pandangan keimanan, adalah ketaatan pada Allah. Tidak tergantung oleh penilaian sesame makhluk. Karena kebenaran dalam timbangan aqidah kita, selalu ditentukan oleh keridhaan Allah. Tidak ditentukan oleh keinginan makhluk.

Putus asa, kecewa berlebihan, merasa tak mempunyai harapan, menganggap jalan hidup menjadi buntu karena permasalahan yang mendera, adalah bagian dari sifat-sifat kekukfuran. Mufassir Fakhrul Razi dalam Tafsir Al Kabir 18/199, menyebutkan, “Ketahuilah bahwa putus asa dari Rahmat Allah tidak akan terjadi kecuali jika seseorang yakin bahwa Allah tidak mampu dalam kesempurnaan, yakin bahwa ilmu Allah tidak meliputi seluruh makhluk-Nya, yakin bahwa Allah itu bakhil dan tidak mudah memberi. Dan jika seseorang telah meyakini satu hal saja dari tiga keyakinan itu, maka orang tersebut telah jatuh pada kekufuran. Itu sebabnya dalam Al-Quran disebutkan, “Dan tidaklah putus asa terhadap rahmat Akkah kecuali orang-orang kafir.” (QS. Yusuf : 87)

Saudaraku,

Mari hitung-hitung kemudahan dalam hidup ini. Syukuri setiap detik demi detiknya. Dengarkanlah nasihat Syaikh Musthafa As Siba’I seorang juru dakwah asal Mesir untuk kita. “Kunjungilah penjara sekali dalam hidup agar engkau tahu apa kenikmatan yang Allah berikan kepadamu berupa kebebasan. Kunjungi pengadilan satu kali dalam satu tahun agar engkau tahu apa kemurahan Allah padamu karena engkau memiliki kebaikan akhlak. Kunjungi rumah sakit satu kali dalam satu bulan agar engkau tahu bagaimana kenikmatan Allah kepadamu yang mempunyai kesehatan. Kunjungi kebun dan pepohonan satu kali dalam satu minggu agar engkau tahu, apa kenikmatan Allah yang diberikan atas dirimu dari keindahan alam. Kunjungi tuhanmu setiap waktu agar engkau mengetahui bagaimana kemurahan-Nya kepadamu karena telah memberimu hidup dengan berbagai kenikmatan yang tak terhitung.

Tidak ada komentar: