Rabu, 17 Februari 2021

SADARI HAK-HAK ALLAH

“SADARI HAK-HAK ALLAH”

Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 93 Th.6)

 

Saudaraku?

Sesungghunya Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang bersaudara karena-Nya. Semoga, kelak saat hari penghisaban, kita termasuk golongan orang-orang yang berada di bawah naungan Allah sementara tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Seperti yang disabdakan Rasulullah, “Ada tujuh golongan yang di naungi Allah pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya…” Salah satunya adalah, orang yang saling mencinta karena Allah, bertemu karena Allah dan berpisah karena Allah…”

Saudaraku,

Mari kita bermuhasabah terhadap diri masing-masing. Bagaimana kita melewati hari-hari kemarin? Bagaimana kita menapaki, waktu selama satu pecan lalu?

Menjalani hari-hari dalam hidup, menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, ibarat berdagang. Modalnya adalah 6 anggota tubuh, yakni mata, telinga, mulut, kemaluan, tangan dan kaki. Modal harus dikelola dan dikembangkan hingga membawa untung. Sebuah perdaganagn dianggap gagal dan tidak berhasil kalau modal itu malah menyusut seiring perjalanan waktu dan merugi karena tidak dikelola dengan baik. Rentang usia kita, adalah rentang waktu perdagangan itu. Dan hari demi hari adalah cermin perdagangan yang harus kita evaluasi hasil-hasilnya.

Perdagangan yang kita lakukan memang sangat ketat sekali. Maymun bin Mahran rahimahullah mengatakan, “Seseorang tidak dikatakan bertaqwa sampai ia sangat ketat memuhasabahi dirinya sendiri melebihi ketatnya peantauan seorang penanam modal kepada pengusaha.”Di sini kita harus selalu waspada dan memperhatikan gerak gerik keinginan kita sendiri.

Salah satu jenis muhasabah yang diajarkan Ibnul Qayyim adalah, berhenti sejenak saat kita memiliki lintasan keinginan melakukan sesuatu. Perhentian itu adalah untuk menimbang dan berfikir, apakah pekerjaan itu bisa mendatangkan keuntungan atau tidak. Dalam Bahasa perdagangan, apakah transaksi yang akan dilakukan itu akan membawa keuntungan atau merugikan. Sampai kita yakin betul dengan hasil yang akan diperoleh. “Allah merahmati seorang hamba yang berhenti saat terlintas keinginannya. Jika itu dilakukan untuk Allah ia lanjutkan, jika tidak, ia tunda, “demikian kata Hasan Al Bashri rahimahullah.

Saudaraku,

Bisakah kita mendengar dialog yang ada dalam batin kita saat melakukan sesuatu? Dalam kitab Ighatsatul Lahfan, Imam Ibnul Qayyim menuliskan contoh dialog yang terjadi dalam hati seseorang yang sehat. Bunyinya begini, “Jika ia mendapatkan kekeruhan dalam hatinya ia merasakan ada sesuatu yang mengetuknya dan berkata, ‘Ya Allah aku adalah hamba-Mu, miskin dan fakir kepada-Mu. Aku hamba-Mu yang fakir, lemah, papa dan miskin. Dan Enkau Tuhanku yang Maha Perkasa dan Maha Kasih. Tak ada kesabaran bagiku jika Engkau tak memberikan ku kekuatan. Tak ada yang melindungiku kecuali perlindungan-Mu. Tak ada yang memberi bantuan padaku kecuali bantuan-Mu…”

Menurut Ibnul Qayyim, dialog-dialog seperti itulah yang seharusnya ada dalam diri kita ketika merasakan seuatu yang tidak baik dalam perilaku kita. Mengakui kelemahan, ketidakberdayaan, jatuh tersungkur dihadapan  kekuasaan dan ke Maha Muliaan Allah, adalah suasana yang sangat disukai oleh Allah SWT. Mengadu lirih, bersimpuh di hadapan Allah SWT adalah keadaan yang dipuji oleh Allah SWT. Imam Ahmad rahimahullah bercerita, dahulu ada seorang hamba Allah yang beribadah selama 70 tahun. Sampai suatu hari ia duduk mengadu kepada Allah, betapa sedikitnya amal yang telah ia lakukan dan betapa banyak dosa-dosanya selama 70 tahun. Lalu datanglah utusan Allah yang menyampaikan firman-Nya, “Dudukmu pada saat ini lebih aku cintai daripada amal-amalmu yang telah lewat sepanjang umurmu.’

Saudaraku,

Dalam kitab Az-Zuhd, Imam Ahmad rahimahullah juga menuliskan kisah serupa tentang seseorang Bani Israil yang menyembah Allah selama 60 tahun dan meminta sesuatu hajat. Tapi Allah tidak memujudkan hajatnya. Lalu ia berkata pada dirinya sendiri, “Andai saja engkau (maksudnya dirinya sendiri) mempunyai kebaikan, pasti permintaanmu akan dipenuhi…” Ia sangat menyadari betapa ia tak memiliki kebaikan apapun hingga hajat dan keperluannya tidak dikabulkan oleh Allah SWT. Tapi di malam harinya, orang itu bermimpi di datangi seseorang yang mengatakan, “Tahukah engkau? Rasa bersalahmu pada dirimu sendiri itu lebih baik dari ibadahmu selama puluhan tahun.”

Orang yang mengakui kekerdilan, kekecilan, kelemahan dan kedurhakaan di hadapan Allah, adalah orang yang menyadari hak-hak Allah atas dirinya. Ibadah yang dilakukan oleh orang yang tidak mengetahui dan tidak menyadari hak-hak Allah, akan sangat kecil nilainya dibanding orang yang mengetahui hak-hak Allah. Begitulah. Karena sebenarnya, pengakuan akan hak-hak Allah itulah yang bisa membersihkan jiwa dari ujub karena merasa telah banyak beribadah, lalu membuka pintu rasa tak berarti dan hina di hadapan Allah. “Kebanyakan orang yang menyadari hak mereka atas Allah, tapi tidak menyadari hak Allah atas mereka. Dari sanalah mereka terputus dari Allah dan terselimuti hatinya dari mengenal, mencintai dan merindukan Allah…” kata Ibnul Qayyim.

Ia melanjutkan, “Di antara hak Allah adalah ditaati dan tidak dilanggar, diingat dan tidak dilupakan, disyukuri dan tidak diingkari. Siapapun yang mengerti hak-hak Allah ini maka ia yaki haqqul yaqin, tidak mampu memenuhi dengan baik. Dan karenanya tidak ada yang kita pinta kecuali ampunan dan maghfirah dari Allah.”

Saudaraku karena Allah,

Nasihat itu selalu nikmat rasanya bila datang dari seorang saudara yang mencintai kita. seorang Muslim, memang cermin bagi saudaranya yang lain. Tempat kita bisa berkaca, meminta pendapat, menerima masukan dan nasihat apapun tentang kita, untuk kebaikan kita. Taka da yang tak baik bagi kita dan untuk seorang saudara karena Allah.

Saat ini, di sini, usai membaca kalimat-kalimat ini, mengadulah kepada Allah saudaraku… Bahwa kita adalah hamba-Nya yang banyak melalaikan hak-hak Allah…

Tidak ada komentar: