Rabu, 24 Juni 2020

“MUSIBAH DI MATA MEREKA DAN KITA” KARYA M. LILI NUR AULIA

Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 208 Th.10)

Musibah. Bencana. Kata-kata in, barangkali dekat sekali dengan kita, hari-hari ini, sekarang. Kedudukan yang menyelimut hampir seluruh ruang jiwa seseorang, menjadikannya seperti dalam keadaan yang sama sekali tak memberi bahagia. Kesedihan akibat seolah kesenangan tak lagi mau menghampiri hidup, bak siang menjadi gelap malam tak kunjung berhenti.

                Saudaraku,
                Atau, barangkali ada di Antara bagian hidup kita yang merupakan bagian perjalanan yang memunculkan duka. Berdo’alah dengan sepenuh hati, sebuah do’a yang diajarkan Rasulullah SAW, dalam riwayat Turmudzi dan Nasa’i. “…Ya Allah, janganlah Engkau jadikan musibah dan kedukaan kami itu ada pada urusan agam kami. Janganlah Engkau jadikan dunia sebagai obsesi kami dan keinginan kami yang paling besar. Jangan Engkau jadikan dunia sebagi pucuk ilmu pengetahuan kami. Dan jangan Engkau kuasakan atas kami, seseorang yang tidak memiliki belas kasih atas kami.”
                Do’a ini mengajarkan tentang hakikat kedukaan dan sejatinya musibah yang harus kita sadari. Kita, dalam do’a ini, meminta agar kita tidak ditimpakan musibah dalam urusan agama dalam hidup ini. Do’a agar dunia tidak mendominasi jiwa dan fikiran kita. Karena musibah sesungguhnya dalam hidup ini adalah, ketika kedukaan dan musibah itu datang pada kehidupan agama kita. Bukan pada urusan dunia kita. Atas dasar ini, Qadhi Syuraih rahimahullah mengatakan, “Aku tertimpa musibah dan aku memuji Allah atas musibah itu, berdasarkan empat hal. Pertama, karena musibah itu tidak lebih besar dari apa yang sudah terjadi. Kedua, karena musibah itu telah mendatangkan kesabaran untuk menghadapinya. Ketiga, aku bisa memohon pahala atas kesulitan dari musibah yang aku terima. Dan keempat, Allah SWT tidak menjadikan musibahku itu, musibah dalam utusan agama, tapi dalam urusan dunia.”

                Saudaraku,
                Jiwa kita tak boleh dikuasai oleh dunia. Ia tak boleh tunduk di bawah keinginan dan obsesi dunia. Sebab, penguasaan dunia atas jiwa adalah penjajahan yang selalu menambah dan menambah keletihan. Seperti dikatakan oleh Umar bin Khattab radhiallahu anhu, “Dunia tidak akan menjadi obsesi seseorang kecuali ia akan mendominasi jiwanya dalam empat keadaan. Kekafiran yang tak pernah mengenal kekayaan. Kegelisahan yang tanpa ada batasnya. Kesibukan yang tak pernah selesai. Harapan yang tak pernah berujung.” Seseorang akan selalu dalam keadaan berduka dan murung karena obsesi dunia yang begitu kuat menguasai dirinya.
                Karena itulah, para orang-orang shalih memiliki sudut pandang yang berbeda tentang musibah. Bagi mereka selama musibah itu tidak mempengaruhi urusan agama dan masih dalam lingkup dunia, mereka tidak menganggapnya sebagai musibah yang begitu berat. Sebagaimana isi do’a yang diajarkan Rasulullah SAW tadi, kita diminta berlindung dari musibah dalam urusan agama.

                Saudaraku,
                Di Antara musibah dalam agama adalah ketika kita meninggalkan momentum kedekatan kepada Allah, tapi justru melakukan kamksiatan dan memperturutkan hawa nafsu yang bertentangan dengan keridhaan Allah SWT. meninggalkan shalat adalah dosa, terlebih bila seseorang meninggalkannya  untuk melakukan kemaksiatan. Bagi orang-orang shalih, meniggalkan shalat jamaah dipandang musibah. Salah seorang mereka yang ketinggalan takbiratu ihram dari shalat berjamaah, lalu ia meminta sahabat-sahabatnya agar mendapat ta’ziyah selama tiga hari. Dan bila salah seorang dari mereka sama sekali ketingalan waktu shalat berjamaahnya, maka ia akan meminta kunjungan ta’ziyah selama tujuh hari. Itulah sebabnya, Hatim Al Ashamm rahimahullah mengatakan, “Musibah dalam urusan agama adalah musibah yang paling besar. Salah seorang puteriku meninggal dunia, lalu ada lebih dari sepuluh ribu orang datang ke rumahku untuk berta’ziyah. Tapi kenapa ketika aku ketinggalan shalat berjamaah tak satupun orang yang berta’ziyah ke rumahku.” Dalam kitab-kitab tentang kehidupan orang-orang shalih, disebutkan ada salah seorang dari mereka akan menancapkan paku, lalu mendengar suara azan. Maka ia meletakan palu dan pakunya untuk segera memenuhi panggilan shalat lalu melanjutkan pekerjaannya setelah shalat.

                Saudaraku,
                Waktu kita pendek. Usia kita hanya hitungan waktu yang tidak banyak. Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan, “Usia itu sedikit saja. Apakah engkau berlaku zalim terhadap perintah Tuhanmu, tai engkau moho pertolongan-Nya? Ia memerintahkanmu untuk bersungguh-sungguh, tapi engkau melakukan kebalikannya. Engkau ingin mendapatkan ketinggian, padahal tingkatan dirimu sesuai dengan tingkat keseriusanmu. Apakah engkau ingin memanen tanpa menanam? Perhatikanlah, andai bukan karena keseriusan dan kesungguhan pilihan utama yang dikatakan oleh Nabiyullah Yusuf as, “Rabb, penjara lebih aku sukai apa yang mereka inginkan dari diriku.” (QS. Yusuf : 33), nisaya Yusuf takkan mendapatkan kehidupan yang kokoh selajutnya. Tapi karena kesungguhan itulah, AllahSWT berfirman, “Dan demikianlah, kami kokohkan Yusuf di muka bumi dan ia mengambil manfaat darinya sekehendaknya.” (QS. Yusuf : 56)

                Saudaraku,
Berbicaralah pada diri sendiri. Sebab kita orang paling tahu tentang diri kita. Kitalah orang yang paling mampu meraba kasatnya ahti, kelamnya jiwa dan pikiran dibandingkan kahulasan dan terang benderangnya jiwa orang-orang shalih itu. Jika kita tahu dan sadar diri, semoga kita menjadi bagian dari orang-orang yang memiliki modal kebaikan.
Dahulu, Nabiyullah Musa alaihissalam diriwayatkan mengatakan pada Bani Israil, ”Datangkan padaku orang yang paling baik di antara kalian.” Mereka lalu datang dengan membawa seorang pemuda. Musa as bertanya padanya, “Apakah engkau orang yang terbaik di kalangan Bani Israil?” Orang itu mengatakan, “Seperti itulah yang mereka katakana tentang aku.”
Musa as kemudian berkata lagi kepada orang itu, “Datangkan kepadaku orang yang paling buruk di antara Bani Israil.” Tapi ketika kembali, orang itu tak membawa orang lain kecuali dirinya sendiri.
“Apakah engkau membawa orang yang paling buruk di antara mereka?” Tanya Musa as kepadanya. Orang itu mengatakan,”Ya, saya sendiri orangnya.” Ia melanjutkan, “Aku tidak tahu ada seseorang dari mereka yang lebih mengetahui tentang keburukkanku sendiri.” Musa as lalu mengatakan, “Kalau begitu, benar, engkaulah orang yang paling baik di antara mereka.”

Saudaraku,
Siapakah kita?

Tidak ada komentar: