Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 209
Th.11)
“Kata-kata
itu, bisa mati,” tulis Sayyid Quthb. “Kata-kata juga akan menjadi beku,
meskipun ditulis dengan lirik yang indah atau semangat. Kata-kata akan menjadi
seperti itu bila tidak muncul dari hati orang yang kuat meyakini apa yang
dikatakannya. Dan seseorang mustahil memiliki keyakinan kuat terhadap apa yang
dikatakannya, kecuali jika ia menerjemahkan apa yang ia katakan dalam dirinya
sendiri, lalu ia menjadi visualisasi nyata apa yang ia katakan,” lanjut Sayyid
Quthb dalam karya menumentalnya Fii Zilaalil Qur’aan.
Saudaraku,
Menjadi
penerjemah apa yang dikatakan. Menjadi bukti nyata apa yang diucapkan. Betapa sulitnya.
Tapi ini bukan sekedar anjuran. Bukan hanya agar suatu ucapan menjadi berbobot
nilai pengaruhnya karena tanpa dipraktikkan, kata-kata menjadi kering, lemah,
ringan tak berbobot, seperti yang disinyalir oleh Sayyid Quthb rahimahullah tadi. Lebih dari itu semua,
merupakan perintah Allah SWT. Firman Allah SWT yang tegas menyindir soal ini
ada pada surat Al Baqarah ayat 44 yang artinya, “Apakah kalian memerintahkan
manusia untuk melakukan kebaktian, sedangkan kalian melupakan diri kalian
sendiri dan kalian membaca Al Kitab. Apakah kalian tidak berakal?”
Membandingkan
antara kita hari ini dan masa-masa lalu,
akan terasa bahwa ada banyak hal yang hilang dari diri kita. Kita dahulu, yang
mungkin baru memiliki ilmu dan pemahaman yang sedikit, tapi banyak beramal dan
mempraktikkan ilmu yang sedikit itu. Kita dahulu, yang barang kali belum banyak
membaca dan mendapatkan keterangan tentang Allah, tentang Rasulullah SAW,
tentang Islam, tapi merasa begitu kuat keyakinan dan banyak amal shalih yang
dikerjakan. Kita dahulu, yang belum banyak mendengarkan nasihat, diskusi, arahan
para guru dalam menjalankan agama, tapi seperti merasakan kedamaian karena kita
melakukan apa yang kita ketahui itu. Meskipun sedikit.
Saudaraku,
Banyak
yang hilang dari diri kita….
Saudaraku,
Dahulu,
sahabat Ali radhiallahu anhu pernah mengatakan
bahwa kelak di akhir zaman akan menjadi sebuah
fitnah. Antara lain, ia menyebutkan, “… Ketika seseorang memepelajari
ilmu agama bukan untuk diamalkan.” Itulah ciri fitnah besar yang akan terjadi
di akhir zaman. Sahabat lainnya, Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu juga pernah menyinggung hal ini dalam
perkataannya, “Belajarlah kalian, dan bila kalian sudah mendapatkan ilmu, maka
laksanakanlah ilmu itu.” Ilmu dan amal, dua pasang mata uang yang tak mungkin
dipisahkan. Tapi kita, sepertinya, kini lebih berilmu namun miskin dalam amal…
Saudaraku,
Perhatikanlah,
apa saja yang hilang dari diri kita selama ini…?
Barangkali
kita termasuk dalam ungkapan Al Hasan Al Basri rahimahullah ini. Ia mengatakan, “Aku pernah bertemu dengan suatu
kaum yang mereka dahulunya adalah orang-orang yang memerintahkan yang makruf
dan paling melaksanakan apa yang diserukannya. Mereka juga orang paling
melarang kemungkaran dan mereka orang yang paling menjauhi kemungkaran itu. Tapi
kita ada ditengah kaum yang memerintahkan pada yang makruf sementara mereka
adalah orang yang paling jauh dari yang diserukan. Dan paling banyak melarang
kemungkaran, sedangkan mereka adalah orang yang paling dekat melaksanakan
kemungkaran itu. Bagaimana kita bisa hidup dengan orang yang seperti mereka?”
Saudaraku,
Berhentilah
sejenak disini. Duduk dan merenunglah untuk memikirkan apa yang kita bicarakan
ini. Perhatikanlah apa yang dikatakan lebih lanjut oleh Sayyid Quthb rahimahulah, “Sesungguhnya iman yang
benar adalah ketika ia kokoh di dalam hati dan terlihat bekasnya dalam prilaku.
Islam adalah akidah yang bergerak dinamis dan tidak membawa yang negatif. Akidah
islam itu ada dalam alam perasaan dan bergerak hidup mewujudkan indikasinya dalam
sikap luar, terjemah dalam gerak di alam realitas.”
Saudaraku,
Jika
banyak yang baik-baik, yang hilang dari diri kita, mari memuhasabahi diri
sendiri sebelum beramal, melihat apa yang menjadi orientasi dan tujuan
amal-amal kita selama ini. Jika kita memeriksa niat sebelum beramal, berarti
kita sudah membenahi sesuatu yang masih bersifat lintasan hati. Dan itu akan
lebih mudah melakukannya. Karena asal muasal suatu perkerjaan itu adalah
lintasan. Lintasan hati, dan keinginan hati itu bisa menjadi kuat sampai
kemudian menjadi waswas. Dari waswas muncul dorongan untuk dilahirkan dalam
bentuk tindakan. Imam Ghazali mengatakan, “Jalan untuk membersihkan jiwa adalah
dengan membiasakan pekerjaan yang muncul dari jiwa yang bersih secara sempurna.”
Saudaraku,
Jika
kita bicara, maka kita sebenarnya diajak bicara oleh diri kita sendiri melalui
kata-kata itu. Kata-kata kita yang kita keluarkan, sebenarnya pertama kali
ditunjukan pada diri sendiri, sebelum orang lain. Jika kita mendapatkan ilmu,
kitalah orang pertama yang harus melakukannya. Dengan perenungan yang lebih
jauh, sahabat Rasulullah SAW yang terkenal dengan sikap zuhudnya, Abu Darda radhiallahu anhu mengatakan, “Aku paling
takut kepada Rabbku di hari kiamat bila Dia memanggilku di depan seluruh
makhluk dan mengatakan, “Ya Uwaimar.” Aku menjawab, “Ya Rabbku…” Lalu Allah
mengatakan, “Apakah engkau mengerjakan apa yang sudah engkau ketahui?” Seorang
ulama, Syaikh Jibrin yang baru saja
wafat meninggalkan tulisan begitu menyentuh tentang ini. Ia mengutip
sebuah hadits qudsi, bahwa Allah SWT berfirman, “Idzaa ashaanii man ya’rifunii, salath tu alaihi man laa ya’rifunii…” Jika
orang yang mengenal-Ku melakukan maksiat kepada-Ku, Aku kuasakan dia kepada
orang yang tidak mengenal-Ku…”
Saudaraku,
Banyak
hal baik yang telah hilang dari dir kita..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar