Jumat, 26 Juni 2020

“BANYAK YANG HILANG DARI DIRI KITA” KARYA M. LILI NUR AULIA

Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 209 Th.11)

“Kata-kata itu, bisa mati,” tulis Sayyid Quthb. “Kata-kata juga akan menjadi beku, meskipun ditulis dengan lirik yang indah atau semangat. Kata-kata akan menjadi seperti itu bila tidak muncul dari hati orang yang kuat meyakini apa yang dikatakannya. Dan seseorang mustahil memiliki keyakinan kuat terhadap apa yang dikatakannya, kecuali jika ia menerjemahkan apa yang ia katakan dalam dirinya sendiri, lalu ia menjadi visualisasi nyata apa yang ia katakan,” lanjut Sayyid Quthb dalam karya menumentalnya Fii Zilaalil Qur’aan.

Saudaraku,
Menjadi penerjemah apa yang dikatakan. Menjadi bukti nyata apa yang diucapkan. Betapa sulitnya. Tapi ini bukan sekedar anjuran. Bukan hanya agar suatu ucapan menjadi berbobot nilai pengaruhnya karena tanpa dipraktikkan, kata-kata menjadi kering, lemah, ringan tak berbobot, seperti yang disinyalir oleh Sayyid Quthb rahimahullah tadi. Lebih dari itu semua, merupakan perintah Allah SWT. Firman Allah SWT yang tegas menyindir soal ini ada pada surat Al Baqarah ayat 44 yang artinya, “Apakah kalian memerintahkan manusia untuk melakukan kebaktian, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri dan kalian membaca Al Kitab. Apakah kalian tidak berakal?”

Membandingkan antara kita hari ini  dan masa-masa lalu, akan terasa bahwa ada banyak hal yang hilang dari diri kita. Kita dahulu, yang mungkin baru memiliki ilmu dan pemahaman yang sedikit, tapi banyak beramal dan mempraktikkan ilmu yang sedikit itu. Kita dahulu, yang barang kali belum banyak membaca dan mendapatkan keterangan tentang Allah, tentang Rasulullah SAW, tentang Islam, tapi merasa begitu kuat keyakinan dan banyak amal shalih yang dikerjakan. Kita dahulu, yang belum banyak mendengarkan nasihat, diskusi, arahan para guru dalam menjalankan agama, tapi seperti merasakan kedamaian karena kita melakukan apa yang kita ketahui itu. Meskipun sedikit.

Saudaraku,
Banyak yang hilang dari diri kita….

Saudaraku,
Dahulu, sahabat Ali radhiallahu anhu pernah mengatakan bahwa kelak di akhir zaman akan menjadi sebuah  fitnah. Antara lain, ia menyebutkan, “… Ketika seseorang memepelajari ilmu agama bukan untuk diamalkan.” Itulah ciri fitnah besar yang akan terjadi di akhir zaman. Sahabat lainnya, Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu juga pernah menyinggung hal ini dalam perkataannya, “Belajarlah kalian, dan bila kalian sudah mendapatkan ilmu, maka laksanakanlah ilmu itu.” Ilmu dan amal, dua pasang mata uang yang tak mungkin dipisahkan. Tapi kita, sepertinya, kini lebih berilmu namun miskin dalam amal…

Saudaraku,
Perhatikanlah, apa saja yang hilang dari diri kita selama ini…?
Barangkali kita termasuk dalam ungkapan Al Hasan Al Basri rahimahullah ini. Ia mengatakan, “Aku pernah bertemu dengan suatu kaum yang mereka dahulunya adalah orang-orang yang memerintahkan yang makruf dan paling melaksanakan apa yang diserukannya. Mereka juga orang paling melarang kemungkaran dan mereka orang yang paling menjauhi kemungkaran itu. Tapi kita ada ditengah kaum yang memerintahkan pada yang makruf sementara mereka adalah orang yang paling jauh dari yang diserukan. Dan paling banyak melarang kemungkaran, sedangkan mereka adalah orang yang paling dekat melaksanakan kemungkaran itu. Bagaimana kita bisa hidup dengan orang yang seperti mereka?”

Saudaraku,
Berhentilah sejenak disini. Duduk dan merenunglah untuk memikirkan apa yang kita bicarakan ini. Perhatikanlah apa yang dikatakan lebih lanjut oleh Sayyid Quthb rahimahulah, “Sesungguhnya iman yang benar adalah ketika ia kokoh di dalam hati dan terlihat bekasnya dalam prilaku. Islam adalah akidah yang bergerak dinamis dan tidak membawa yang negatif. Akidah islam itu ada dalam alam perasaan dan bergerak hidup mewujudkan indikasinya dalam sikap luar, terjemah dalam gerak di alam realitas.”

Saudaraku,
Jika banyak yang baik-baik, yang hilang dari diri kita, mari memuhasabahi diri sendiri sebelum beramal, melihat apa yang menjadi orientasi dan tujuan amal-amal kita selama ini. Jika kita memeriksa niat sebelum beramal, berarti kita sudah membenahi sesuatu yang masih bersifat lintasan hati. Dan itu akan lebih mudah melakukannya. Karena asal muasal suatu perkerjaan itu adalah lintasan. Lintasan hati, dan keinginan hati itu bisa menjadi kuat sampai kemudian menjadi waswas. Dari waswas muncul dorongan untuk dilahirkan dalam bentuk tindakan. Imam Ghazali mengatakan, “Jalan untuk membersihkan jiwa adalah dengan membiasakan pekerjaan yang muncul dari jiwa yang bersih secara sempurna.”

Saudaraku,
Jika kita bicara, maka kita sebenarnya diajak bicara oleh diri kita sendiri melalui kata-kata itu. Kata-kata kita yang kita keluarkan, sebenarnya pertama kali ditunjukan pada diri sendiri, sebelum orang lain. Jika kita mendapatkan ilmu, kitalah orang pertama yang harus melakukannya. Dengan perenungan yang lebih jauh, sahabat Rasulullah SAW yang terkenal dengan sikap zuhudnya, Abu Darda radhiallahu anhu mengatakan, “Aku paling takut kepada Rabbku di hari kiamat bila Dia memanggilku di depan seluruh makhluk dan mengatakan, “Ya Uwaimar.” Aku menjawab, “Ya Rabbku…” Lalu Allah mengatakan, “Apakah engkau mengerjakan apa yang sudah engkau ketahui?” Seorang ulama, Syaikh Jibrin yang baru saja  wafat meninggalkan tulisan begitu menyentuh tentang ini. Ia mengutip sebuah hadits qudsi, bahwa Allah SWT berfirman, “Idzaa ashaanii man ya’rifunii, salath tu alaihi man laa ya’rifunii…” Jika orang yang mengenal-Ku melakukan maksiat kepada-Ku, Aku kuasakan dia kepada orang yang tidak mengenal-Ku…”

Saudaraku,
Banyak hal baik yang telah hilang dari dir kita..

Tidak ada komentar: