“ALLAH,
MUDAHKAN AKU MENDAPATKAN TEMAN YANG SHALIH” KARYA M. LILI NUR AULIA
Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 212
Th.11)
Ibrahim
An Nakh’I pernah menyampaikan kisah yang didengarnya dari Alqamah, seorang
perawi hadits yang wafat tahun 62 H. “Aku pernah pergi ke Syam dan memasuki
sebuah masjid dan mengucapkan do’a, “Allahumma
yassir lii jaliisan shaalihan” (Ya Allah mudahkanlah bagiku untuk
mendapatkan teman yang shalih). Aku lalu duduk begitu saja di salah satu tempat
di masjid tersebut. Tak lama kemudia datang seorang tua yang duduk disampingku.
Aku bertanya kepada jamaah yang lain, “Siapa dia?” Mereka memberitahu bahwa
orang yang baru datang itu adalah Abu Darda Radhiallahu
Anhu. Aku lalu mengatakan padanya, “Tadi aku berdoa kepada Allah SWT agar
memudahkan bagiku mendapat teman duduk yang baik. Lalu ternyata Allah SWT
memudahkanmu untuk bisa menjadi temanku.” “Dari mana anda?” Alqamah menjawab,
“Dari Kufa.” Abu Darda lalu bertanya lagi, “Bukankah di antara kalian atau dari
kalian, ada seorang pejaga rahasia yang tidak diketahui orang lain kecuali
dirinya (maksud Abu Darda adalah Kudzaifah ra)?”Alqamah mengiyakannya. “Bukankah
ada di antara kalian atau dari kalian orang yang dilindungi oleh Allah SWT dari
syaitan melalui lisan Nabi-Nya shallallahu
alaihi wa sallam (maksud Abu Darda adalah Ammar bin Yasir ra)? Alqamah
mengiyakannya lagi.
Saudaraku,
Teman
yang shalih. Teman yang kata-katanya memberi manfaat. Teman yang ucapannya
membawa hikmah, memberi kesejukan, membuka kesadaran, menguatkan iman,
mempertajam fikiran, melembutkan hati. Teman yang shalih.
Do’a
dan permohonan mendapatkan teman yang shalih, adalah kebiasaan orang-orang
shalih itu sendiri. Imam Turmudzi dan An Nasai dari Hadits bin Qubaisha
mengatakan, “Aku pernah datang ke Madinah dan berdo’a, Allahumma yassir lii jaliisan shaalihan.” Aku lalu duduk di samping
Abu Huraiah radhiallahu’anhu. Aku
mengatakan, “Tadi aku meminta kepada Allah agar diberi rizki teman yang
shalih.” Lalu Abu Hurairah membacakan kepadaku hadits dari Rasulullah SAW yang
diharapkan bisa bermanfaat untukku. Abu Huarairah ra mengatakan , “Aku
mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Pertama kali yang dihisab seorang hamba
dari amal-amalnya adalah shalatnya. Jika shalatnya benar maka ia berhasil dan
sukses. Dan jika shalatnya rusak, maka ia merugi. Jika ada yang kurang
dilakukan dari kewajibannya, berkata Rabb azza
wa jalla: “Lihatlah apakah ada ibadah sunnah yang dilakukan hamba-Ku?” Lalu
hal itu yang akan menyempurnakan apa yang kurang dari kewajibannya. Kemudian
dihisablah seluruh amalnya dengan modal itu.”
Ini
permisalan yang terjadi di generasi mereka orang-orang shalih. Mendapatkan
teman yang shalih ada dalam do’a mereka. Memperoleh orang yang bisa
mengingatkan pada akhirat, kepada Allah, mengingatkan keimanan, menjadi bagian
dari obsesi mereka ketika hadir di suatu tempat. Dan di zaman itu, mereka lebih
mudah mendapatkannya.
Mungkinkah
kita berdo’a yang sama, “Allahumma yassir
lii jaliisan shaalihan” sekarang?
Saudaraku,
Kesendirian
barangkali lebih baik dari pada memiliki teman yang buruk. Alasannya adalah,
dalam kesendirian seorang akan bicara pada dirinya sendiri. Lintasan
fikirannya, jika itu keburukan, akan sampai pada jiwanya sendiri, dan dalam
batasan itu, syariat masih memafkannya. Tapi teman yang buruk akan menyampaikan
lintasan fikiran buruk itu pada orang yang menemaninya dan akan mengajaknya
melakukan keburak itu dengan sikap-sikapnya.
Maka
Abu Darda ra pernah mengatakan, “Teman yang shalih itu lebih baik dari pada
kesendirian. Dan kesedirian itu lebih baik dari pada mendapat teman yang buruk.
Orang yang mengajak pada kebaikan lebih baik dari pada orang yang diam. Tapi
orang yang diam lebih baik dari pada orang yang mengajak pada keburukan.”
Bahkan Ibnu Hibban mengatakan, “Orang yang berakal tidak akan mau menemani
orang yang jahat. Karena pertemanan dengan orang yang jahat itu adalah potongan
dari api neraka. Memberi rasa panas, tidak memuculkan ketenangan dan cenderung
melanggar apa yang perah dijanjikan.”
Saudaraku,
Persoalan
teman, bagi orang-orang shalih begitu penting. Kekeliruan dalam berteman, bisa
mengakibatkan perkara yang tidak sederhana. Karena mereka sangat berhati-hati
memilih teman, demi memelihara dirinya. Mereka sangat sensitif memilih
komunitas aman tempatnya berinteraksi, untuk menghindari diri dari keadaan yang
menjebak pada kesalahan.
Saudaraku,
Mari
sama-sama berdo’a, “Allahumma yassir lii
jaliisan shaalihan..”
Tak
hanya persoalan memilih teman, tapi terlalu banyak berteman dan bergaul pun,
bagi orang-orang shalih dianggap memiliki dampak yang kurang baik bagi jiwa.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Sesungguhnya berlebih-lebihan dalam bergaul merupakan penyakit parah yang
mendatangkan semua kejelekan. Betapa banyak pergaulan dan persahabatan itu
menghilangkan nikmat, menabur benih permusuhan dan menanamkan rasa sakit
didalam hati yang mampu melenyapkan gunung yang kokoh, sementara rasa sakit
dalam hati tersebut tidak akan hilang. Sehingga berlebihan dalam bergaul
merupakan kerugian dunia dan akhirat. Hanya saja seorang hamba sepantasnya
mengambil dari pergaulan itu sebatas kadar kebutuhan.” (Bada”I’ul Fawa’id/231)
Lebih
mendalam lagi, simaklah komentar Ibnul Jauzy rahimahullah ini. “Hampir tidak ada yang menyukai banyak berkumpul
dengan manusia kecuali (hati) yang kosong. Karena hati yang tersibukkan dengan al-haq akan lari dari makhluk. Ketika
hati kosong dari mengetahui al-haq,
dia pun tersibukkan dengan makhluk. Sehingga dia pun beramal untuk dan karena
mereka dan dia binasa karena riya’ tanpa dia mengetahuinya’.” (Shahidul Khathir/217)
Saudaraku,
Kita
memerlukan waktu-waktu untuk menyendiri, menyepi, mendengarkan nafas dan
berbicara pada jiwa. Sayyid Quthb rahimahullah
berpesan, “Jiwa yang diarahkan agar memiliki pengaruh dalam realitas kehidupan,
lalu merubahnya pada orientasi yang lain, harus menjalani khalwat (penyendirian) atau uzlab
(pengisolasian) untuk beberapa saat, memutus kesibukan dunia dan hiruk
pikuk kehidupan dan dari obsesi orang-orang “kecil” yang disibukkan oleh
kehidupan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar