Rabu, 08 Juli 2020

“APAKAH KITA AKAN MENIGGALKAN KENIKMATAN ITU?” KARYA M. LILI NUR AULIA

Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 213 Th.11)

Siang, pernah bangga di hadapan malam. Katanya, “Saya adalah waktu penuh aktivitas, saat manusia bekerja, membangun dan tumbuh. Bahkan, sayalah kehidupan sebenarnya. Di waktu sayalah, Allah SWT memenangkan pasukannya di banyak zaman. Dalam rentang waktu saya, ada banyak umat Islam yang meraih kemenangan, ada banyak berita tentang pertolongan Allah. Bahkan Allah SWT bersumpah dalam Al Quran dengan menyebutku.. “Wan nahaaari idzaa tajalla…” Dan demi malam ketika beranjak naik. . .
Siang, benar-benar membanggakan diri di hadapan ketenangan dan sikap diam malam. Kepada malam, ia mengatakan, “Engkau adalah waktu kemalasan, waktu berat untuk beraktifitas. Sebagian besar waktumu diisi oleh orang-orang  yang tidur mendengkur. Engkau benar-benar ruang yang memunculkan rasa takut. Para pencuri itu senang dengan kehadiranmu. Mereka yang banyak melakukan dosa juga gembira dengan kedatanganmu,” ujar siang.

Saudaraku,
Malam kemudian berusaha menjawab, perkataan siang. Ia mengatakan, “Saya adalah waktu ketenangan dan waktu istirahat. Allah SWT menjadikanku sebagai tempat istirahat dan selimut bagi hamba-hamba-Nya. Aku adalah tempat para hamba Allah, orang-orang yang berbakti. Aku punya banyak kisah tentang kehidupan mereka. Berapa banyak kegembiraan para nabi, para muttaqin, para shalihin dengan kehadiran saya. Berapa banyak kegelapanku yang digunakan para pejuang untuk berlindung dari pantauan musuh. Waktu-waktu sahurku adalah kenikmatan bagi orang-orang yang mengenal Allah, kelezatab bagi orang-orang yang takut kepada-Nya dan saat kembalinya orang-orang yang telah berlaku dosa. Allah SWT juga berfirman di dalam Al Quran dengan namaku. Bahkan aku dijadikan salah satu nama surat dalam Al Quran. Di sepertiga waktuku, Allah SWT turun ke bumi.
Mendengar jawaban malam, siang tertunduk malu akhirnya mangangkat kepalanya sambil mengakui keutamaan malam. . .

Saudaraku,
Dialog itu hanyalah ilustrasi tentang pembagian waktu siang dan malam. Tentu saja kedua waktu itu sama baiknya. Tapi melalui ilustrasi ini kita ingin diajak untuk memaknai lebih jauh soal pemanfaatan waktu, bukan pada sisi waktu itu sendiri. Waktu siang, akan baik bila dimanfaatkan dengan baik. Begitu juga waktu malam.
Tapi penting diperhatikan juga bagaimana jawaban malam terhadap siang dalam ilustrasai itu. Malam, memang bak menjadi arena peribadatan orang-orang shalih, saat mereka merasakan nikmatnya munajat, tunduk dan mengucap bulir-bulir istighfar kepada Allah SWT. Itulah Allah SWT sebutkan dalam firmanNya.. “Wal mustaghfiriina bil ashaar…” dan orang-orang yang memohon ampun di waktu sahur...

Saudaraku,
Diam dan tenangnya malam, sebenarnya diam yang penuh gemuruh kegembiraan orang-orang shalih. Gejolak bahagia orang-orang yang kembali kepada Allah SWT. Dalam shalat dan dzikir mereka. Karenanya, Allah SWT berfirman, “Wa minal laili fatahajjad  bibii naafilatan lak...” Dan di antara malam, tahajjudlah sebagai ibadah sunnah bagimu..
Atha’ pernah mengatakan, dirinya bersama Ubaid bin Umair pernah mendatangi Aisyah radhiallahu anha. Ia lalu bertanya, “Sampaikan kepada kami, sesuatu yang engkau lihat dari apa yang dilakukan Rasulullah SAW.” Aisyah kemudian menangis dan mengatakan. “Suatu malam ia pernah berdiri dan mengatakan, “Wahai Aisyah, biarkan aku beribadah kepada Tuhanku.” Aku (Aisyah) mengatakan, “Demi Allah aku sangat senang berada di dekatmu, tapi aku lebih senang dengan sesuatu yang bisa menyenangkan dirimu.” Setelah itu Rasulullah SAW bersuci dan berdiri melakukan shalat. Ia terus menerus menangis sampai basah janggutnya. Rasulullah terus menangis hingga tanah ikut terbasah oleh air matanya. Ketika itu, datanglah Bilal dan mengumandangkan adzan subuh. Ketika melihat Rasulullah SAW menangis,ia bertanya “Ya Rasulullah, mengapa engkau menangis sedangkan Allah telah mengampuni dosamu yang terdahulu maupun yang akan datang? Rasulullah mengatakan, “Apakah aku tidak mau menjadi hamba yang bersyukur? Malam ini telah turun ayat-ayat. Celakalah orang yang membacanya dan tidak memikirkan kandungannya. “Inna fii khalqis samaawaati wal ardh….”(HR. Ibnu Hibban)
Allah SWT menyifatkan orang-orang shalih itu dengan firman-Nya, “Kaanuu qoliilan minal laili maa yahja’uun… wa bil as haari bum yastaghfiruuun..” Adalah mereka sedikit saja dari waktu malam, berbaring dan ketika sahur mereka beristighfar. Ruang-ruang orang-orang sholih itu  justru di waktu malam. Sekolah tilawah mereka, kampus pembinaan dan penggembelengan keimanan mereka, juga di waktu malam. Saat mereka berjaga dan melindungi pasukan Muslim juga di waktu malam.

Saudaraku,
Ibnu Katsir pernah bercerita tentang Umar bin Khattab radhiallahu anhu. “Ia shalat bersama manusia kemudian masuk rumahnya dan shalat hingga waktu fajar.” Para shalihin itu sangat menikmati waktu malam. Abu Sulaiman Ad Darani rahimahullah mengatakan, “Kenikmatan orang yang menghidupkan malam (ahlu lail) pada malam mereka, itu jauh lebih nikmat daripada kesenangan pelaku senda gurau dalam senda gurau mereka. Andai bukan karena waktu malam, aku tidak menyukai dunia.”
Tsabit Al bannani rahimahullah mengatakan, “Tak ada sesuatu yang aku dapatkan dihatiku yang lebih nikmat dari pada qiyamul lail.” Sebagian salaf mengatakan, “Aku benar-benar senang ketika waktu malam tiba. Karena disanalah, kehidupan bisa kurasakan lebih nikmat dan mataku lebih tenang melalui munajat kepada Allah Yang aku cintai dan juga karena khalwatku dengan Allah, khidmatku kepada-Nya dan sikap ketundukanku di hadapan-Nya..”
Hasan al Bashri ditanya, “Mengapa orang yang melakukan shalat tahajjud sangat enak wajah mereka di pandang?” Ia menjawab, “Karena mereka telah menyepi dengan Ar Rahman lalu Allah mengenakan mereka cahaya dari cahaya-Nya…”

Saudaraku,
Allah SWT telah hamparkan Ramadhan kita, kenikmatan kehidupan malam-malam Ramadhan. Mungkin, sebelumnya kita sama sekali tak merasakan nikmatnya malam seperti orang-orang shalih itu.
Apakah kita akan meninggalkan kenikmatan itu sekarang?

Tidak ada komentar: