“APAKAH
KITA AKAN MENIGGALKAN KENIKMATAN ITU?” KARYA M. LILI NUR AULIA
Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 213
Th.11)
Siang,
pernah bangga di hadapan malam. Katanya, “Saya adalah waktu penuh aktivitas,
saat manusia bekerja, membangun dan tumbuh. Bahkan, sayalah kehidupan
sebenarnya. Di waktu sayalah, Allah SWT memenangkan pasukannya di banyak zaman.
Dalam rentang waktu saya, ada banyak umat Islam yang meraih kemenangan, ada
banyak berita tentang pertolongan Allah. Bahkan Allah SWT bersumpah dalam Al Quran
dengan menyebutku.. “Wan nahaaari idzaa
tajalla…” Dan demi malam ketika beranjak naik. . .
Siang,
benar-benar membanggakan diri di hadapan ketenangan dan sikap diam malam. Kepada
malam, ia mengatakan, “Engkau adalah waktu kemalasan, waktu berat untuk
beraktifitas. Sebagian besar waktumu diisi oleh orang-orang yang tidur mendengkur. Engkau benar-benar
ruang yang memunculkan rasa takut. Para pencuri itu senang dengan kehadiranmu. Mereka
yang banyak melakukan dosa juga gembira dengan kedatanganmu,” ujar siang.
Saudaraku,
Malam
kemudian berusaha menjawab, perkataan siang. Ia mengatakan, “Saya adalah waktu
ketenangan dan waktu istirahat. Allah SWT menjadikanku sebagai tempat istirahat
dan selimut bagi hamba-hamba-Nya. Aku adalah tempat para hamba Allah,
orang-orang yang berbakti. Aku punya banyak kisah tentang kehidupan mereka. Berapa
banyak kegembiraan para nabi, para muttaqin, para shalihin dengan kehadiran
saya. Berapa banyak kegelapanku yang digunakan para pejuang untuk berlindung
dari pantauan musuh. Waktu-waktu sahurku adalah kenikmatan bagi orang-orang
yang mengenal Allah, kelezatab bagi orang-orang yang takut kepada-Nya dan saat
kembalinya orang-orang yang telah berlaku dosa. Allah SWT juga berfirman di
dalam Al Quran dengan namaku. Bahkan aku dijadikan salah satu nama surat dalam
Al Quran. Di sepertiga waktuku, Allah SWT turun ke bumi.
Mendengar
jawaban malam, siang tertunduk malu akhirnya mangangkat kepalanya sambil
mengakui keutamaan malam. . .
Saudaraku,
Dialog
itu hanyalah ilustrasi tentang pembagian waktu siang dan malam. Tentu saja
kedua waktu itu sama baiknya. Tapi melalui ilustrasi ini kita ingin diajak
untuk memaknai lebih jauh soal pemanfaatan waktu, bukan pada sisi waktu itu
sendiri. Waktu siang, akan baik bila dimanfaatkan dengan baik. Begitu juga
waktu malam.
Tapi
penting diperhatikan juga bagaimana jawaban malam terhadap siang dalam
ilustrasai itu. Malam, memang bak menjadi arena peribadatan orang-orang shalih,
saat mereka merasakan nikmatnya munajat, tunduk dan mengucap bulir-bulir
istighfar kepada Allah SWT. Itulah Allah SWT sebutkan dalam firmanNya.. “Wal mustaghfiriina bil ashaar…” dan
orang-orang yang memohon ampun di waktu sahur...
Saudaraku,
Diam
dan tenangnya malam, sebenarnya diam yang penuh gemuruh kegembiraan orang-orang
shalih. Gejolak bahagia orang-orang yang kembali kepada Allah SWT. Dalam shalat
dan dzikir mereka. Karenanya, Allah SWT berfirman, “Wa minal laili fatahajjad bibii
naafilatan lak...” Dan di antara malam, tahajjudlah sebagai ibadah sunnah
bagimu..
Atha’
pernah mengatakan, dirinya bersama Ubaid bin Umair pernah mendatangi Aisyah radhiallahu anha. Ia lalu bertanya, “Sampaikan
kepada kami, sesuatu yang engkau lihat dari apa yang dilakukan Rasulullah SAW.”
Aisyah kemudian menangis dan mengatakan. “Suatu malam ia pernah berdiri dan
mengatakan, “Wahai Aisyah, biarkan aku beribadah kepada Tuhanku.” Aku (Aisyah)
mengatakan, “Demi Allah aku sangat senang berada di dekatmu, tapi aku lebih
senang dengan sesuatu yang bisa menyenangkan dirimu.” Setelah itu Rasulullah
SAW bersuci dan berdiri melakukan shalat. Ia terus menerus menangis sampai
basah janggutnya. Rasulullah terus menangis hingga tanah ikut terbasah oleh air
matanya. Ketika itu, datanglah Bilal dan mengumandangkan adzan subuh. Ketika melihat
Rasulullah SAW menangis,ia bertanya “Ya Rasulullah, mengapa engkau menangis
sedangkan Allah telah mengampuni dosamu yang terdahulu maupun yang akan datang?
Rasulullah mengatakan, “Apakah aku tidak mau menjadi hamba yang bersyukur? Malam
ini telah turun ayat-ayat. Celakalah orang yang membacanya dan tidak memikirkan
kandungannya. “Inna fii khalqis
samaawaati wal ardh….”(HR. Ibnu Hibban)
Allah
SWT menyifatkan orang-orang shalih itu dengan firman-Nya, “Kaanuu qoliilan minal laili maa yahja’uun… wa bil as haari bum
yastaghfiruuun..” Adalah mereka sedikit saja dari waktu malam, berbaring
dan ketika sahur mereka beristighfar. Ruang-ruang orang-orang sholih itu justru di waktu malam. Sekolah tilawah mereka,
kampus pembinaan dan penggembelengan keimanan mereka, juga di waktu malam. Saat
mereka berjaga dan melindungi pasukan Muslim juga di waktu malam.
Saudaraku,
Ibnu
Katsir pernah bercerita tentang Umar bin Khattab radhiallahu anhu. “Ia shalat bersama manusia kemudian masuk
rumahnya dan shalat hingga waktu fajar.” Para shalihin itu sangat menikmati
waktu malam. Abu Sulaiman Ad Darani rahimahullah mengatakan, “Kenikmatan orang
yang menghidupkan malam (ahlu lail) pada malam mereka, itu jauh lebih nikmat
daripada kesenangan pelaku senda gurau dalam senda gurau mereka. Andai bukan
karena waktu malam, aku tidak menyukai dunia.”
Tsabit
Al bannani rahimahullah mengatakan, “Tak
ada sesuatu yang aku dapatkan dihatiku yang lebih nikmat dari pada qiyamul
lail.” Sebagian salaf mengatakan, “Aku benar-benar senang ketika waktu malam
tiba. Karena disanalah, kehidupan bisa kurasakan lebih nikmat dan mataku lebih
tenang melalui munajat kepada Allah Yang aku cintai dan juga karena khalwatku
dengan Allah, khidmatku kepada-Nya dan sikap ketundukanku di hadapan-Nya..”
Hasan
al Bashri ditanya, “Mengapa orang yang melakukan shalat tahajjud sangat enak
wajah mereka di pandang?” Ia menjawab, “Karena mereka telah menyepi dengan Ar
Rahman lalu Allah mengenakan mereka cahaya dari cahaya-Nya…”
Saudaraku,
Allah
SWT telah hamparkan Ramadhan kita, kenikmatan kehidupan malam-malam Ramadhan. Mungkin,
sebelumnya kita sama sekali tak merasakan nikmatnya malam seperti orang-orang
shalih itu.
Apakah
kita akan meninggalkan kenikmatan itu sekarang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar