Rabu, 05 Agustus 2020

SEKUTU YANG GEMAR BERKHIANAT

“SEKUTU YANG GEMAR BERKHIANAT” KARYA M. LILI NUR AULIA

Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 118 Th.10)

 

Saudaraku,

Allah SWT menegaskan, definisi Al Falaah (kemenangan) adalah ketika kita selalu memperbaiki, menata dan membersihkan hati. Sedangkan kerugian adalah ketika kita membiarkan hati kotor, mendiampan penyimpangan, mengabaikan noda yang ada di dalamnya. “Sungguh telah menang orang yang mensucikan (hati)nya. Dan telah rugi orang yang mengotori (hati)nya. (QS. Asy Syams : 9 – 10). Perhatikanlah seklai lagi, ciri kemenangan dan kekalahan yang disampaikan Allah SWT itu. Karenanya, para salafushalih sering menekankan pentingnya muhasabah (menghitung dan mengevaluasi) diri. Dikatakan Maimun bin Mahran rahimahullah, “Orang yang bertaqwa, sangat detail menguvaluasi dirinya dari pada seorang penguasa yang jahat dan melebihi seorang rekan kerja yang kikir pada hartanya.” Maimun juga mengatakan, “Seseorang tidak akan disebut sebagai orang bertaqwa, hingga ia memeriksa dan mengevaluasi dirinya lebih detail daripada seorang rekan kerja yang kikir terhadap hartanya.”

 

Saudaraku,

Seberapa sering kita berbicara pada diri sendiri tentang apa yang dilakukannya?

 

Saudaraku,

Seorang shalih bahkan lebih detail menyebut karakter jiwa kita. Ia mengibaratkan usia kita, anggota tubuh kita, fikiran kita, seluruh yang ada pada diri kita dalam hidup ini adalah modal, aset, harta yang harus dipelihara bahkan diperdayakan untuk meraih kebahagiaan di dunia dan yang pasti, di akhirat. Katanya, “Jiwa ini, seperti sekutu yang gemar berkhianat. Jika ia tidak diperiksa dan di evaluasi, ia akan mencuri harta milikmu.” Bagaimanapun tingginya ilmu seseorang, luasnya pengetahuan yang dimiliki, banyaknya ibadah yang dilakukan, tetap saja karakter hatinya tidak pernah berubah. Hati akan tetap menjadi “asy syariik al khawwaan”, sekutu yang gemar berkhianat. Persis ungkapan Al Quran, bahwa karakter jiwa kita adalah ‘ammaratun bissuu’, sering mengajak pada keburukan. Karenanya, Hasan Al Bashri menguraikan arti dari orang mukmin adalah, “orang yang selalu mencaci dirinya dalam setiap keadaan Orang yang selalu menganggap kekurangan diri, lalu menyesali dan mencaci dirinya sendiri.” Sedangkan orang yang faajir (banyak berdosa) adalah orang yang terus berjalan tanpa mencaci dirinya sendiri.”

 

Saudaraku,

Mari membersihkan dan meluruskan jiwa kita, sekarang. Mengembalikan niatan yang menyimpang, meluruskan kembali lintasan pikiran yang tidak sesuai keridhaan Allah SWT, menyadarkan, mendidik dan memberitahu hati dan jiwa tentang kekurangan-kekurangannya dalam melaksanakan hak-hak Allah SWT. Mari melihat Malik bin Dinar rahimahullah, ketika ia memuji orang yang meluruskan, membersihkan, mengingatkan dirinya sendiri dengan kekurangan dengan mengatakan, “Semoga Allah SWT merahmati seorang hamba yang mengatakan pada dirinya sendiri?” “Bukankah kamu melakukan ini?” “Bukankah kamu melakukan itu?” Lalu orang itu menghina dan mencaci dirinya sendiri, kemudian mengikatnya dengan Kitabullah dan menjadikannya sebagai pemimpin jiwanya.”

 

Saudaraku,

Bila setiap orang Mukmin sangat memerlukan sikap melurus jiwanya, tentu saja sikap itu lebih di butuhkan lagi bagi seorang pemimpin, seorang pendakwah atau seseorang yang memiliki keterkaitan dengan kepentingan orang banyak. Seperti ungkapan Imam Ali radhiallahu anhu yang menasihati para pemimpin, para pendakwah dan orang-orang yang melakukan perbaikan di antara manusia, “Barang siapa yang menisbatkan dirinya sebagai pemimpin bagi manusia, hendaknya ia memulai dengan meluruskan dan mendidik jiwanya telebih dahulu sebelum meluruskan dan mendidik orang lain. Hendaknya ia meluruskan sikapnya, sebelum meluruskan lisannya. Mengajarkan jiwa sendiri dan meluruskannya, itu lebih utama daripada mengajari orang lain dan meluruskan mereka.”

 

Saudraku,

Kita, semua kita, adalah pemimpin. Karena setiap kita memiliki tanggung jawab dalam tingkatan yang berbeda. Kita, semua kita, adalah pendakwah. Karena setiap kita memang wajib menjadi pendakwah, mengajak pada kebaikan, menghalangi kemungkaran di wilayah yang berbeda-beda. Kita, semua kita, adalah penggerak ke arah kebaikan, karena kita selalu ingin kehidupan ini berubah kea rah yang lebih baik. Membina dan membimbing jiwa dan hati sendiri harus lebih diprioritaskan ketimbang membina dan membimbing orang lain. Ada perkataan sangat dalam dan menyentuh tentang hal ini, di ungkapkan oleh Syaikh Ahmad Rasyid, seorang pendakwah yang banyak mendalami masalah jiwa. “Seseorang yang bila engkau memandangnya tidak menjadikan jiwamu terbimbing dan tersadar, ketahuilah bahwa orang itu juga bukan orang yang pandai membimbing dan menyadarkan jiwanya sendiri.”

Orang-orang shalih terdahulu mempunyai prilaku yang begitu indah, sirah hidup yang harum, akhlak yang terpuji, sehingga mereka mampu membimbing, meluruskan orang lain sekedar mereka melihat dirinya. Itulah yang kita dapat dari kisah-kisah tentang para Imam terdahulu, semisal Imam Malik dan Imam Hasan Al Bashri. Murid para Imam itu mengatakan, bahwa melihat keduanya memberi manfaat bagi mereka, meski keduanya tidak mengucapkan kata-kata.

 

Saudaraku,

Tengoklah hati ini. Lihat jiwa ini. Luruskan dia, bimbing dia, sadarkan dia. Agar benar-benar terpelihara. Karena di jalan yang kita lalui, terlalu banyak persimpangan. Dan dipersimpangan itu terlalu banyak tarikan yang bisa menyimpangkannya dari jalan yang seharusnya kita tempuh.

Tidak ada komentar: