“PERIKSA KEADAAN DIRI” KARYA M. LILI NUR AULIA
Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 197 Th.10)
Mengenal diri sendiri (indraaku adz dzaat), menurut para pakar fsikologi, merupakan tingkat pengenalan yang sangat penting. Orang yang sakit takkan bisa mendapatkan obat yang bisa menormalkan tubuhnya, kecuali bila yang bersangkutan mengetahui bahwa dirinya sakit, dan memerlukan pengobatan. Jadi, tahap paling pertama untuk sembuh, adalah kesadaran bahwa diri semakin sakit. Merasa ada sesuatu yang kurang, merasa ada yang tidak sempurna.
Banyak orang yang tak tahu dirinya sakit. Padahal dalam kepalanya, ia mempunyai banyak informasi tentang pengobatan. Sayangnya ia tak mengetahui dan tidak menyadari bila dirinya sedang sakit. Akibatnya, bukan hanya taka da langkah pengobatan, tetapi sejurus dengan hal itu, penyakit yang ada semakin berat dan bertambah parah.
Saudaraku,
Mungkinkah, kita termasuk orang yang tak begitu mengetahui kondisi diri yang sebenarnya sedang sakit? Meski kalau kita ingin memeriksanya, kita akan mendapat banyak sekali penyakit yang sudah akan tidak terobati. Atau mungkin kita pernah menyadari kekurangan itu dan kita pernah mengobatina. Tetapi pengorbanan itu tidak berlanjut sehingga penyakit itu kembali datang dan kembali menguasai hati dan jiwa kita?
Saudaraku,
Orang yang merasakan dirinya kurang, mengakui banyak amal ketaatan yang luput dikerjakan, menyadari bahwa diri tidak baik sebagai hamba Allah SWT, adalah pintu pertama untuk gerbang kebaikan demi kebaikan lainnya. Itu lebih baik ketimbang orang yang merasa yakin dengan dirinya dan tertipu dengan ketaatan dan kebaikkannya, lalu tak ada langkah mengetahui kondisi diri dan praktis taka da pengobatan apapun yang dilakukan atas sakit dan aib yang sebenarnya ada.
Karena itulah, dalam kitab Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Prinsip semua kemaksiatan itu adalah sikap lalai dan syahwat yang ridha pada diri sendiri. Dan prinsip seluruh ketaatan itu adalah kesadaran dan rasa ingin terlindung dari dosa yang menyebabkan ketidakridhaan terhadap diri sendiri. Menemani orang yang bodoh tapi dia tidak puas dengan kondisi dirinya. Itu lebih baik daripada orang yang pandai tapi puas dengan kondisi dirinya.”
Saudaraku,
Apakah kita ridha dengan diri kita? Apakah kita termasuk orang yang bodoh tapi tidak puas dengan kebaikan yang dilakukan diri sendiri? Atau, kita termasuk orang yang pandai tapi ridha dan puas dengan kebaikan diri sendiri? Jiwa kita sebenarnya cenderung pada yang baik dan terhormat. Jiwa kita tidak cenderung dan menolak kekotoran dan kehinaan. Semakin kita peduli dan memperhatikan jiwa, jiwa ini akan semakin bersih mengkilat. Semakin kita lalai dengan jiwa, semakin jiwa kotor.
Kita ingin, saat bertemu Allah SWT, Dia ridha kepada kita. Saat kita bertemu Allah SWT, dengan lembaran yang bersih dan hati yang lurus. Seperti firman Allah SWT, “Yauma laa yanfa’u maalun walaa banuun. Illa man atallaha bi qalbin saliim.” (QS. Asy Syu’ara : 8-9). Hari di mana taka da manfaat bagi harta maupun keturunan. Kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang lurus.”
Saudaraku,
Dalam hening, dalam sunyi. Mari berdialog dengan diri sendiri. Berbicara dan memperhatikan kondisi jiwa. Seperti diajarkan Imam Ibnul Qayyim yang begitu dalam pemahamannya tentang jiwa, “Kita paling utama tentang jiwa adalah yang mengajarkan kita untuk berbicara dengan diri sendiri dan bersikap lemah lembut dengannya.”
Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Meniti kekurangan diri dan amal, melahirkan rasa rendah, hina dan tak berdaya di hadapan Allah SWT. Perasaan itu lalu mendorong sseorang untuk banyak bertaubat, karena memandang diri sendiri sebagai orang yang pailit tak memiliki sesuatu. Dan sesunggunya pintu terdekat seorang hamba kepada Allah SWT adalah ketika ia merasakan tak mempunyai apapun kecuali bergantung pada Allah SWT….” Lebih lanjut Ibnul Qayyim mengatakan, “Jika ia berpaling sekejap saja dari Allah SWT ia merasa celaka dan sangat merugi sehingga tak ada yang bisa menebusnya kecuali kembali kepada Allah SWT dan mencari kasih sayang-Nya.”
Kondisi seperti ini disebut sebagai dua pilar utama dalam ubudiyah atau penghambaan kepada Allah SWT, yakni hubbun kaamil (totalitas cinta) dan dzillun taamm (sangat merasa hina). Dan dua kondisi ini, lahir dari dua hal. Totalitas cinta lahir dari kondisi seseorang yang begitu menyadari karunia Allah SWT sehingga memunculkan cinta. Sedangkan kondisi sangat hina terjadi ketika seseorang meneliti dan memeriksa kekurangan-kekurangannya.
Saudaraku,
Kita, tak hanya diperintahkan untuk menjauh dari yang haram, tapi termasuk juga anjuran untuk membersihkan hati, menyucikan jiwa. Ada dua hal yang penting kita renungkan di sini. Pertama, kita dilarang Allah SWT untuk menganggap diri suci, sebagaimana firman-Nya, “Dan janganlah kalian menganggap suci diri kalian, Dia Yang Maha Mengetahui siapa yang lebih bertakwa.” (QS. An Najm : 32).
Intinya, kita tidak boleh larut dalam rasa lelah melakukan sesuatu yang begitu mahal dalam beribadah. Tidak terlarut oleh bisikan yang mengatakan bahwa kita telah cukup banyak melakukan kebaikan. Tidak terbawa oleh persaan bahwa kita telah memberi banyak kepada orang lain. Kedua, saat kita membersihkan jiwa, ketahuilah bahwa Allah SWT saja yang kuasa untuk membersihkannya. Allah SWT berfirman, “Balillahu yuzakkii man yasyaa”, akan tetapi Allah saja yang menyucikan siapapun yang ia kehendaki.”
Saudaraku,
Mari kita ingat kembali, kita tidak boleh merasa telah berjasa dan banyak berbuat baik. Dan, bahwa hanya Allah SWT yang bisa mensucikan dan membersihkan diri. Mari berdialog dengan diri, memeriksa kondisi jiwa dan hati, merenungi kekurangan demi kekurangan diri, mendekatkan diri pada Allah SWT dengan memohon ampunan.
Beristigfarlah saudaraku….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar