“PERSELISIHAN DALAM BINGKAI CINTA” KARYA M. LILI NUR AULIA
Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 199 Th.10)
Mari ikuti sepercik perjalanan orang-orang besar dalam persaudaraan. Dahulu, Abu Dzar radhiallahu anhu pernah menghina Bilal bin Rabah dengan menyebut orang tuanya. Bilal mengadu kepada Rasulullah dan Abu Dzar menyesal sejadi-jadinya atas perkataannya kepada Bilal. Ia lalu menempelkan pipinya ke tanah sambil berucap kepada Bilal “Demi Allah, aku tidak akan angkat pipiku dari tanah, sampai engkau injak pipi ini dengan kakimu.” Akhirnya, kedua sahabat itu berpelukan dan saling memaafkan.
Mereka, orang-orang besar itu, bukan tak pernah berselisih dan bukan tak pernah tersulut emosinya. Perselisihan antara mereka juga terjadi dan bahkan kemarahan antara mereka juga telah tersulut. Tapi lihatlah bagaimana mereka menyelesaikan masalah antara mereka. Lihatlah bagaimana Kaum Muhajirin dan Anshar, ketika kedua kelompok sahabat Rasulullah SAW hampir saja berbaku hantam dan saling bunuh karena diingatkan masa lalu mereka yang saling berperang. Dalam situasi kritis itulah, Rasulullah SAW untuk melerai mereka dengan mengatakan, “Wahai kaum muslimin, apakah karena seruan jahiliyah ini (kalian hendak berperang) padahal aku di tengah-tengah kalian. Setelah Allah memberikan hidayah Islam kepada kalian. Dan dengan Islam itu Allah muliakan kalian dengan Islam putuskan urusan kalian pada masa jahiliyyah. Dan dengan Islam itu Allah selamatkan kalian dari kekufuran. Dan dengan Islam itu Allah pertautkan hati-hati kalian. Maka kaum Anshar itu segera menyadari bahwa perpecahan mereka itu adalah dari syaitan dan tipuan kaum kafir sehingga mereka menangis dan berpelukan satu sama lain. Lalu mereka berpaling kepada Rasulullah SAW dengan senantiasa siap mendengar dan taat…” (Sirah Ibnu Hisyam 1/555)
Saudaraku,
Begitu indahnya, persaudaraan yang berbalut cinta di antara mereka. Setelah Rasulullah SAW wafat, perselisihan juga terjadi diantara mereka. Tapi lagi-lagi mereka memang orang-orang besar dalam cinta.
Mu’awiyah memiliki sepetak kebun di Madinah, berikut sejumlah karyawannya. Ibnu Zubair memeiliki kebun yang letaknya disamping milik Mu’awiyah. Mu’awiyah, ketika itu adalah seorang Khalifah yang menguasai lebih dari 20 wilayah. Sedangkan Ibnu Zubair adalah hanya seorang rakyatnya. Keduanya juga mempunya persoalan di masa lalu. Tukang kebun milik Mu’awiyah datang dan masuk ke kebun milik Ibnu Zubair, lalu Ibnu Zubair menuliskan surat kepada Mu’awiyah dengan nada marah. Surat itu bertuliskan,
“iBismillahirrahmanirrahim. Dari Abdullah bin Zubair, putra penolong Rasul (Zabair bin ‘Awwam) dan putra Dzatun Nuthaqain (Asma bin Abu Bakar yang menpunyai gelar itu), kepada Mu’awiyah bin Hindun, anak dari perempuan yang memakai hati paman Rasulullah. Ketahuilah, tukang kebunmu masuk ke kebunku. Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, kalau engkau tidak segera larang mereka, aku akan mempunyai urusan denganmu!”
Mu’awiyah membaca surat dari Ibnu Zubair tersebut. Dia tampak lapang dada dan menerimanya dengan tenang. Ia lalu memanggil anaknya yang bernama Yazid yang kebetulan karakternya emosional. Mu’awiyah menyodorkan surat itu dan bertanya pada anaknya, “Apakah kita perlu menjawabnya?” Yazin bin Mu’awiyah menjawab, “Menurutku, ayah harus mengirimkan pasukan dengan kekuatan bersar yang barisan terdepannya ada di Madinah dan ujung terakhirnya ada di Damaskus. Mereka harus kembali membawa kepala Ibnu Zubair.”
Mu’awiyah menjawab, “Tidak. Ada yang lebih baik dari itu.” Ia lalu menuliskan surat balasan kepada Ibnu Zubair dengan mengatakan, “Bismillahirrahmanirrahim. Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan, kepada Abdullah bin Zubair putra penolong Rasul dan putra Dzatun Nuthaqain. Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Jika ada bagian dari dunia miliku dan milikmu, lalu kemudian engkau memintanya, niscaya akan aku berikan itu semuanya untukmu. Jika suratku ini sampai kepadamu. Ambillah kebunku itu seluruhnya menjadi kebunmu. Termasuk tukang kebunku juga menjadi milikmu. Wassalam.
Surat itu akhirnya sampai ke Abdullah bin Zubair. Membaca surat itu Ibnu Zubair menitikan air mata dan pergi ke Mu’awiyah di Dasmaskus. Ia memeluk kepala Mu’awiyah dan berkata, “Semoga Allah menjaga akalmu, Dan Allah telah memilihmu di antara orang-orang Quraisy untuk menduduki tempat ini yakni jabatan Khalifah.
Saudaraku,
Perperangnan ternyata tak terhindarkan, dan terjadi di antara mereka. Dalam perang jamal, Aisyah, Thalhah dan Zubair berserta sejumlah sahabat radhiallahu anhum keluar untuk berperang dengan menghunus pedang. Sementara di pihak lawan, Ali radhiallahu anhu dan para sahabat dari ahli Badar juga berangkat untuk berperang. Seseorang berkata kepada Amir Asy Sya’bi, “Allahu Akbar. Para sahabat saling berperang dengan pedang dan masing-masing tidak ada yang menghindar?!” Amir Asy Sya’bi mengatakan, “Para penghuni syurga juga bertemu. Tapi mereka masing-masing merasa malu dengan yang lain.” Ketika Thalhah gugur di medan perang Jamal, dalam kondisi menentang Ali ra, Ali justru turun dari kudanya dan menanggalkan pedangnya. Ia berjalan kaki menuju Thalhah. Melihatnya telah gugur bersimbah darah. Ali tahu, Thalhah adalah salah seorang dari sepuluh orang yang dijamin masuk syurga oleh Rasulullah SAW. Ali ra membersihkan tanah dari janggut Thalhah sambil mengatakan, “Aku sangat gusar melihatmu seperti ini wahai Abu Muhammad. Tapi aku akan meminta kepada Allah SWT agar menjadikan antara diriku dan dirimu sebagai difirmankan dalam Al Quran, “Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” (QS. Al Hijr : 47)
Terakhir,
Lihatkah bagaimana kisah Imam Al Ghazali, tentang Hasan Al Bashri yang pernah di datangi seseorang dengan mengatakan, “Wahai Abu Sa’id, seseorang melakukan ghibah atasmu.” Hasan Al Bashri menajwab, “Kemarilah.” Ketika otang itu datang, Hasan Al Bashri memberinya beberapa kurma. Lalu, Hasan Al Bashri mengatakan, “Pergilah kepada orang itu dan katakanlah padanya, “Engkau telah memberikan kebaikanmu untukku. Dan karenanya aku memberimu kurma.” Orang itu lalu memberikan kurma kepada orang yang mengghibahi Hasan Al Bashri.
Saudaraku,
Mari belajar dari orang-orang besar itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar