Rabu, 12 Agustus 2020

“SIAPA DI ANTARA KITA YANG PALING MENGENAL-NYA”

“SIAPA DI ANTARA KITA YANG PALING MENGENAL-NYA” KARYA M. LILI NUR AULIA

Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 194 Th.10)

 

Hatim Al Asham rahimahullah. Laki-laki yang banyak keturunannya, namun sedikit kekayaannya. Kelebihannya, ia seorang yang shalih yang sangat tinggi ketawakalannya kepada Allah dan sungguh-sungguh dalam beribadah. Kesalihan Hatim, tertuang dalam salah satu ucapannya. “Pernah suatu hari saya ditanya, “Apakah engkau ingin sesuatu?” Aku jawab, “Aku ingin selalu sehat dari pagi hingga malam hari”. Aku ditanya lagi, “Bukankah engkau sehat selama seharian?” Aku jawab, “Sehat menurutku adalah tidak menjalankan dosa dari pagi hingga malam”.

Sedang tentang ketawakalannya, ia pernah mengatakan, “Tiada waktu pagi datang melainkan setan mencercaku dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggoda, “Apa yang akan engkau makan?” Apa yang akan engkau pakai? Di manakah engkau akan tinggal.” Saya tidak ingin hanyut dalam jebakan pertanyaan itu, maka saya cukup menjawabnya, “Saya akan makan kematian, mengenakan kain kafan dan tinggal di liang lahat.

 

Saudaraku,

Suatu malam, Hatim berbincang-bincang dengan para sahabatnya. Saat itu, permbicaraan mengarah hingga membahas masalah naik haji ke Baitullah. Kerinduan bisa berkunjung ke Masjidil Haram pun menyusup dalam di hati Hatim Al Asham. Pulang ke rumah, ia duduk dihadapan anak-anaknya dan berbicara kepada mereka.” Apakah kalian izinkan ayah kalian pergi ke Baitullah tahun ini untuk menunaikan haji, ayah akan mendoakan kalian di sana…” Istri dan anak-anaknya terkejut. Dalam waktu yang bersamaan mereka mengatakan, “Ayah dalam kondisi tidak punya apa-apa dan kami juga dalam keadaan miskin. Bagaimana mungkin ayah ingin berangkat haji dan meninggalkan kami dalam kondisi seperti ini?”

Suasana menjadi hening,. Hatim Al Asham sudah menduga keterkejutan dan jawaban seperti itu. Tapi tiba-tiba seorang anak perempuannya yang masih kecil mengatakan lain. “Kalian hanya diminta mengizinkan ayah untuk pergi haji. Bukankah itu tidak memberatkan kalian? Biarkanlah ayah naik haji ke Baitullah, karena ia hanya penyalur rizki dan bukan pemberi rizki.” Perkataan anak perempuan kecil Hatim itu segera merubah pandangan keluarga Hatim yang akhirnya mereka sepakat dan mengatakan bahwa apa yang di katakana adik kecil itu benar adanya. “Pergilah ayah ke Baitullah tahun ini,” ujar salah seorang putra Hatim.

 

Saudaraku,

Sejak itulah Hatim Al Asham melakukan ragam persiapan untuk menyambut musim haji tiba. Beberapa bulan sebelum datang musim haji, Hatim Al Asham berangkat menempuh perjalanan menuju Baitullah. Para tetangga berdatangan menemui keluarga Hatim dan mempersalahkan keluarga Hatim yang membiarkan Hatim pergi tanpa meninggalkan makan untuk keluarganya. Begitu ramainya pembicaraan miring terhadap sikap Hatim, hingga keluarganya turut terbawa dan menyalahkan puteri kecil Hatim yang dahulu meminta  agar sang ayah diizinkan pergi haji. “Seandainya waktu itu engkau tidak bicara, pasti ia akan tetap tinggal di rumah,” ujar salah seorang mereka. Mendengar perkataan itu, puteri Hatim mengangkat tangannya ke langit dan mengatakan,”Allahumma, Ya Allah, Ya Rabb ku, aku sampaikan kepada kaumku tentang Kemurahan-Mu dan bahwa sesungguhnya Engkau takkan membiarkan mereka dalam kondisi seperti ini. Ya Allah jangan Engkau kecewakan mereka, dan jangan Engkau permalukan aku di hadapan mereka.”

Tak lama setelah itu, rumah Hatim Al Asham didatangi oleh seorang walikota bersama rombongannya yang datang kehausan. Istri Hatim mengangkat tangannya ke langit dan mengatakan, “Allahumma, Ya Allah, ya Rabbku, Maha suci Engkau. Tadi malam kami tidur dalam kondisi lapar. Tapi hari ini, sseorang penguasa datang ke rumah untuk meminta minum.” Sang walikota dijelaskan, bahwa itu adalah rumah milik seorang shalih bernama Hatim Al Asham. Nama Hatim Al Asham, ternyata sudah pernah sampai ke telinga walikota. Ia lalu mengatakan, tidak baik bila dirinya dan rombongan telah membebani keluarga Hatim tapi tidak bisa memberi alasan kepada mereka.

Singkat kisah, salah satu rombongan walikota memberi uang banyak kepada keluarga Hatim. Melihat uang itu, puteri Hatim menangis keras hingga membuat rombongan walikota terkejut dan berusaha ingin menenangkannya. Tapi puteri Hatim itu mengatakan pada ibunya, “Ibu, tangisku karena memikirkan bagaimana tadi malam kita tidur dalam kondisi lapar. Sementara sekadar ada seorang makhluk melihat kita, lalu Allah SWT menjadikan kita kaya. Sungguh Allah Yang Maha Murah Yang Maha Pencipta, Dia Yang Memperhatikan kita, Dia tak membiarkan kita sekejap matapun. Ya Allah, pandanglah ayah kami yang sedang pergi ke Baitullah. Pelihara dia dengan sebaik-baiknya.”

Hatim dalam perjalanannya ke Baitullah bertemu dengan kafilah yang sedang mencari orang yang bisa mengobati salah satu pimpinan mereka. Dengan do’a Hatim, orang itu sembuh dan memberi makan dan minum Hatim. Di malam harinya, Hatim bermimpi ada suara yang berkata padanya, “Wahai Hatim, barangsiapa yang baik hubungannya dengan Tuhannya, maka Tuhannya akan memperbaiki hubungan-Nya dengan orang itu.”

Saat pulang dari menunaikan ibadah haji. Hatim mendengarkan kisah yang terjadi dalam keluarganya. Ia menangis. Ketika itu, meluncurlah ungkapan dari mulutnya, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada tua mudanya kalian. Tapi Allah memandang siapa diantara kalian yang paling mengenal-Nya. Maka, kenalilah Allah dan bertawakkallah kepada-Nya. Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah maka Allah akan mencukupinya.”

 

Saudaraku,

Ingatlah perkataan Ibnul Jauzi dalam Shaidu al Khatir, “Ketahuilah bahwa jalan menuju Allah SWT tidak ditempuh dengan langkah kaki, melainkan ditempuh dengan hati.” Mari kita resapi lagi jawaban Hatim Al Asham yang wafat pada 237 H. ketika ditanya, “atas dasar apa engkau begitu tawakal kepada Allah?” Lelaki shalih itu menjawab, “Atas empat hal : Aku yakin rezekiku tidak akan dimakan orang. Karena itu,aku tenang. Aku yakin amalku tidak akan dikerjakan orang. Karena itu, aku sibuk beramal. Aku yakin kamatianku akan datang dengan tiba-tiba. Karena itu, aku selalu siap menghadapinya. Dan aku yakin bahwa aku tidak mungkin lepas dari pengawasan Allah. Karena itu, aku malu dari-Nya.

Tidak ada komentar: