Senin, 01 Februari 2021

TETAPLAH BERBAIK SANGKA PADA ALLAH SWT

“TETAPLAH BERBAIK SANGKA PADA ALLAH SWT” KARYA M. LILI NUR AULIA

Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 273 Th.13)

 

Mengingat mati, adalah anjuran dari Rasul SAW. Karena, kita terlalu banyak mengingat tentang kehidupan. Karena, kita tak mungkin bisa mengingat mati, bila mkita sudah mati. Karena aroma kematian, ada di mana saja, di jalan-jalan, di tempat-tempat ibadah, di malam gelap maupun siang benderang, di tempat tersembunyi atau lokasi ramai. “aktsiruu dzikra haadimil ladzaat…” Perbanyaklah mengingat kematian yang menghancurkan semua kenikmatan, demikian salah satu pesan Rasul SAW.

Saudaraku,

Kematian, bagaimanapun merupakan kedukaan. Bagi yang ditinggal, terlebih bagi yang meniggal. Yang ditinggal masih memiliki teman hidup. Kedukaan baginya mungkin hanya soal waktu. Sebab akan ada banyak kesempatan lain baginya untuk memulai dan merasakan. Tapi, bagaimana kondisi yang meninggal? Jika yang meninggal itu adalah kita, kita meniggalkan semua kesempatan hidup. Kita berpisah dengan semua yang hidup. Kita terputus dari semua yang ada di dunia. Kita terhalang melakukan aktivitas apapun, bahkan terhalang untuk melakukan shalat dan sujud. Kita, tidak bisa bersentuhan lagi dengan dengan keluarga. Kita tak mungkin bercengkrama dengan anak-anak. Kita tak bisa lagi menginjakkan kaki di rumah. Kematian, menutup rapat-rapat kesempatan menikmati apapun yang sebelumnya bisa kita rasakan.

Mari kita perhatikan salah satu sabda Rasul SAW tentang kematian. Jabir radhiallahu anhu, dalam hadits riwayat Muslim, mengatakan, “Aku pernah mendengar perkataan Rasulullah SAW sebelum ia wafat, “Janganlah kalian meniggal kecuali dalam keadaan husnuzhan terhadap Rabbnya.” Ibnu Abi Duniya menambahkan hadits ini dengan riwayat lain. Katanya, “Ada sekelompok orang yang diselimuti rasa buruk sangka kepada Allah. Lalu Allah SWT bertanya pada mereka: “Apa yang kalian alami adalah sesuai dengan prasangka kalian kepada Rabb kalian. Karena itulah kalian menjadi orang-orang yang rugi.”

Saudaraku,

Dua kata yang begitu menyentak dalam hadits di atas adalah, kata “wafat” atau kematian, dan kata “husnuzhan” atau berbaik sangka. Kematian sebagai simbol kedukaan, bersanding dengan husnuzhan sebagai sikap positif yang mengembirakan. Hadits serupa dengan ini adalah hadits Qudsi yang menyebutkan firman Allah SWT, “Aku sesuai prasangka hamba Ku. Maka berprasangkalah pada-Ku apa yang hamba-Ku mau.” Orang-orang shalih sangat bisa memahami hubungan dua kata yang sepertinya bertolak belakang itu.

Mengapa orang-orang shalih memilikin husnuzhan kepada Allah? Mengapa mereka optimis menghadapi kematian? Bagi para shalihin, kematian adalah proses yang harus dilalui untuk bisa berjumpa dengan Al Mahbub, Yang Dicinta, Allah SWT. Bagi orang-orang yang taat, kematian satu-satunya peristiwa untuk bisa masuk ke dalam dunia akhirat, lalu mereka bisa menemukan perjalanan yang lebih baik. Bagi mereka, itulah pengejawantahan sikap roja’ yang artinya harapan atau optimism akan kemurahan dan kasih saying Allah SWT.

Itu artinya, sikap husnuzhan kepada Allah, tidak mungkin diada-adakan, atau direkayasa. Harus ada rangkaian kebaikan yang tak berhenti, yang melatarbelakanginya, sehingga seseorang mempunya alasan untuk berharap, bermohon dan optimis akan kasih saying dan rahmat Allah SWT.

Sikap, husnuzhan seperti ini harus kita proses keberadaannya dalam diri. Sebab dalam urusan do’a atau munajat kita kepada Allah SWT pun, sikap optimis ini pun menjadi bagian penting terkabul atau tidaknya do’a. Inilah yang disabdakan Rasul SAW dalam hadits riwayat Turmudzi, “Berdo’alah kepada Allah dalam kondisi kalian yakin bahwa do’a itu akan dikabulkan.” Ya, keyakinan, optimisme, husnuzhan¸merupakan satu syarat moral agar pinta dan do’a kita dikabulkan oleh Allah SWT.

Saudaraku,

Yang penting kita bedakan dalam masalah ini adalah, perbedaan antara husnuzhan dan sikap ghurur atau sombong serta merasa cukup dan lebih dalam beramal. Sikap husnuzhan kepada Allah SWT adalah sikap yang selalu diiringi amal-amal shalih, dan sama sekali tidak bermakna diam dan merasa cukup, atau merasa sombong dengan cukup  beramal karena mengganggap Allah SWT pasti memaafkan.

Sebab itu, secara tegas Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tentu saja, husnuzhan kepada Allah, hanya bisa terjadi dengan sikap ihsan (baik) dalam beramal. Orang yang memperbaiki amal-amalnya, pasti berbaik sangka kepada Rabbnya bahwa Ia akan membalas kebaikan yang dilakukannya, dan Ia pasti takkan menyalahi janji. Sedangkan orang yang terus menerus melakukan dosa besar, banyak melakukan kezaliman, keharaman itu akan menghalanginya dari memiliki sikap husnuzhan billah.” Atau, singkat saja, Rasul SAW juga pernah mengatakan, “Husnuzhan min husnil ibadah”, prasangka baik kepada Allah SWT adalah bagian penting dari kebaikan ibadah kepada-Nya.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Tak ada yang paling indah dari jiwa yang memilik rasa tunduk taat sekaligus optimis dan baik sangka atas rahmat Allah SWT. Tak ada yang paling menjadi beban dan berat dari jiwa yang tidak memiliki ketundukan pada Allah SWT, dan otomatis merupakan cermin dari jiwa yang buruk sangka kepada-Nya. Hidup yang berat menjadi lebih berat bila tidak diiringi amal baik dan baik sangka kepada Allah SWT. Hidup yang berat menjadi ringan, bila diiringi amal baik dan kebaikan sangka pada Allah SWT.

Mulailah memporses jiwa agar di dalamnya subur benih-benih husnuzhan kepada Allah SWT. Husnuzhan yang tumbuh karena husnul amal (kebaikan beramal). Bukan husnuzhan palsu yang ditiupkan syaitan kepada orang yang sedikit beramal baik dan banyak melakukan ketidaktaatan, namun terlalu berharap atau terlalu berbaik sangka atas kasih sayang dan rahmat Allah SWT.

Mari sama-sama ucapkan sebagaimana do’a Sa’id bin Jabir radhiallahu anhu, “Ya Allah, aku memohon ketulusan tawakal kepada-Mu dan prasangka yang baik terhadap-Mu.”

Tidak ada komentar: