Senin, 15 Februari 2021

TETAPLAH DI SINI

“TETAPLAH DI SINI”

Dikutib dari Majalah Tarbawi

 

Tetaplah di sini saudaraku. Di jalan keimanan. Di jalan keislaman ini. Tetaplah bersama-sama meniti jalan ini sampai usai. Kita semua mungkin telah letih. Karena perjalan ini memang amat panjang dan amat berlliku. Tapi, tetaplah di sini jangan menjauh. Yakinlah, kenikmatan yang kita reguk di jalan ini, jauh lebih banyak ketimbang yang dilakukan orang-orang yang lalai itu. Keindahan yang kita alami di sini, sangat lebih indah daripada keindahan yang kerap dibanggakan oleh mereka yang jauh dari jalan ini. Jangan berharap atau tertipu dengan fatamorgana kenikmatan, keindahan, kebahagiaan semu yang sering kita lihat dari orang-orang yang jauh dari tuntunan Allah SWT. tetaplah di sini.

Saudaraku,

Keindahan dan kemanisan seorang mukmin, hanya bisa dirasakan oleh mereka yang berada di jalan-Nya. Dahulu, para salafushalih banyak mengurai indahnya hidup dalam keimanan yang mereka rasakan. Ada salah seorang dari mereka mengatakan, “Aku pernah melewati beberapa saat dalam hidup. Saat itu aku katakana, ‘Jika penghuni surga berada dalam kondisi seperti ini, pastilah mereka dalam kehidupan yang amat baik.’ Yang lain ada yang mengatakan, “Aku pernah mengalami suasana hati yang sangat indah karena kedekatan pada Allah dan kecintaan pada-Nya.”

Juga ada yang mengatakan, “Sungguh sengsara sekali orang-orang yang lalai. Mereka meniggalkan dunia (wafat) tapi mereka belum pernah merasakan kenikmatan yang paling indah di dunia.” Ada lagi yang mengatakan, “Seandainya raja-raja dan anak raja itu mengetahui apa yang kami rasakan, pasti mereka menguliti kami dengan pedang untuk mendapatkan kesenangan yang kami miliki.” (Ighatsatul Lahafan, 1/197)

Pernah merasakan suasana seperti itu saudaraku? Coba kita renungkan bagaimana lukisan perasaan itu disampaikan oleh Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah saat ia dipenjara dan disiksa. Fisiknya tersiksa, tapi justru di sanalah ia merasakan sebelumnya. Dalam sebuah risalahnya ia menuliskan surat untuk rekan-rekannya. “Syukur Alhamdulillah kepada Allah. Aku kini berada dalam kenikmatan besar yang selalu bertambah hari demi hari. Allah SWT memperbaharui nikmat-Nya kepadaku. Aku dapat menulis kitab dan itu adalah kenikmatan yang paling besar. Aku sangat ingin menulis kitab agar kalian bisa membacanya. Surat-surat yang kalian kirimkan telah sampai kepadaku. Aku dalam keadaan baik. Dua mataku dalam kondisi baik dan bahkan lebih baik dari sebelumnya. Aku dalam kenikmatan sangat besar, yang tak dapat terhitung dan terlukiskan. Alhamdulillah pujian kepada Allah yang sangat banyak.” (Fatawa Ibnu Taimiyah 28/47)

Begitulah perasaan seorang muslim yang jujur dalam kebenaran dan benar dalam kejujuran. Ia justru memperoleh puncak obsesi dan keinginannya di saat ia mendapatkan ujian. Keinginannya adalah apa yang dapat ia berikan untuk Islam dan kaum muslimin. Kegembiraannya adalah pada bagaimana ia melihat hasil perjuangan da’wahnya kepada umat. Obsesinya adalah bagaimana ia bisa berbuat lebih banyak untuk masyarakat.

Tenangilah hati dan jiwa kita untuk tetap bersama, saudaraku.

Semua keadaan yang lebih tinggi selalu berada di atas. Semua posisi yang lebih mulia, selalu dicapai lewat ujian. Cepat menyerah, keputusasaan, rasa prustasi, tak pernah bisa membawa kita untuk mencapai kedudukan yang lebih tinggi. Pernah ada seorang pemuda bertanya pada Imam Syafi’I rahimahullah. “Ya Aba Abdillah, mana yang lebih baik antara seseorang yang diberi takmin (kekokohan di muka bumi) atau mendapat ujian dari Allah?” Imam Syafi’i mengatakan, “Takmin akan terwujud setelah seseorang mendapat ujian. Allah SWT telah menguji Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad salawatullah alaihim. Ketika mereka bersabar atas ujian yang diberikan, maka Allah kokohkan kedudukan mereka. Jangan seorang pun di antara kalian mengira bisa terlepas dari rasa sakit.” (Al Fawaid, Ibnul Qayyim)

Tetaplah berada di sini. Mari kita bergerak saat manusia istirahat. Maka kita bekerja saat manusia lain diam. Jangan tertipu oleh gemerlap hidup orang lain. Jangan merasa seolah kita dalam kesempitan karena kita zuhud, menjaga dan menjauhkan diri dari segala yang syuhbat (tidak jelas halal haramnya). Jangan putus asa dan khawatir ketika manusia yang jauh dari jalan Allah seakan berada dalam kondisi aman. Ingatlah bahwa amal yang kita lakukan, nilainya ada pada bagaimana kita mengakhiri hidup dengan amal itu. Di sisi Allah SWT adalah yang paling baik dan kekal. Jadilah orang yang selalu mencari ridho-Nya.

Saudaraku,

Hidup ini memang tak lebih dari lembar demi lembar ujian antar sesama kita. itulah yang Allah firmankan, “Dan Kami jadikan sebagian kalian dengan sebagian lainnya sebagai (ujian).” Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, bahwa kondisi ujian seperti ini akan dialami oleh semua orang. Para Rasul di uji oleh kaum yang dida’wahinya. Diuji kesabarannya atas cacian mereka. Diuji kemampuannya memikul beban dalam menyampaikan tugas risalah Allah. Kaum yang disampaikan ajaran oleh Rasul itu, juga diuji oleh da’wah yang disampaikan para Rasul, menolong dan membenarkan? Atau mereka justru mengkufuri, menolak dan memeranginya?

Para ulama diuji dengan orang-orang bodoh. Apakah tetap para ulama itu mengajari, menasehati dan sabar untuk mengajari mereka? Dan orang-orang bodoh juga diuji dengan adanya para ulama. Apakah mereka akan mentaati dan mengikuti para ulama? Kaum pria diuji dengan adanya kaum wanita. Dan sebaliknya wanita juga diuji dengan adanya kaum pria. Suami diuji dengan istrinya. Istri diuji dengan suaminya. Orang mukmin diuji dengan orang kafir. Orang kafir diuji dengan orang mukmin. (Ighatsatul Lahafan, 2/161)

Dengarkanlah sebuah syair yang dikutib oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Miftah Darus Sa’adah, “Adakah orang yang sampai pada kedudukan terpuji, atau akhir yang utama. Kecuali setelah ia melewati jembatan ujian. Demikianlah kedudukan tinggi jika engkau ingin mencapainya. Naiklah ke sana dengan melewati jembatan kelelahan.” (Miftah Darus Saadah, 1/103)

Tetaplah di sini saudaraku. Kita mungkin akan  memulai perjalanan yang lebih mendaki dan terjal. Tapi di sanalah kita berharap bisa bersama merasakan kenikmatan yang kita idam-idamkan. Maka, ucapkanlah “Alhamdulillah” atas seluruh keadaan yang kita alami. Meski kebersamaan ini sungguh menguras keringat dan meletihkan sendi-sendi.

Tidak ada komentar: