Kamis, 04 Februari 2021

SENDIRI DALAM SUNYI

“SENDIRI DALAM SUNYI”

Dikutib dari Majalah Tarbawi (edisi 86 Th.5)

 

Sebuah kebaikan, memang lebih baik jika dilakukan tanpa diketahui oleh orang lain. Amal-amal ibadah, utamanya yang sunnah, menjadi sangat bernilai bagi kita, jika kita bisa melakukannya tanpa pengetahuan orang lain. Beribadah, bermunajat, mengadu, berdzikir, membaca ayat-ayat-Nya, sendirian. Tanpa orang lain, siapapun. Mengakui kealpaan, memohon ampun, menyerahkan semua urusan kepada-Nya, sendirian. Tak ada orang lain, siapapun.

Itu sebabnya, Allah SWT memerintahkan kita mengisi sepertiga malam terakhir, saat paling sunyi, dengan memeperbanyak ibadah sunnah dan berdoa. Soal kesunyian ini, Rasulullah SAW juga mengisyaratkan bahwa do’a seorang Muslim pada suadaranya, disaat sunyi dan tidak diketahui orang lain, cenderung lebih mustajab dan lebih mudah diterima oleh Allah SWT.

Ibnu Athaillah rahimahullah pernah membahas masalah ini lebih jauh dan dalam. Katanya, “Kebanggaanmu bila orang lain melihat kelebihanmu dan bukti ketidakjujuranmu dalam beribadah. Maka kosongkanlah pandangan orang lain terhadap dirimu. Cukup bagimu pandangan Allah terhadap dirimu. Tidak perlu kamu tampil di hadapan mereka agar engkau terlihat di mata mereka.” Ibnu Athaillah mengungkapkan sisi-sisi gelap dalam hat seseorang, yang sulit diraba keberadaannya. Ketidakjujuran seseorang dalam beribadah, ternyata bisa dinilai dari perasaan bangga atau tidak bila ada orang lain yang melihat kebagusan ibadahnya.

Semoga Allah SWT membukaan pintu rahmat dan ampunan-Nya untuk kita semua.

 

Saudraku,

Imam Ibnu Qayyim rahimahullah mengibaratkan suasana sunyi dan tenang itu sebagai pendingin bagi otak yang menjadi tempat berfikir. Ia mengatakan, “Otak diciptakan dalam keadaan panas (hangat) karena digunakan sebagai tempat untuk berfikir. Karena itu di dalamnya harus ada zat pendingin dan ia butuh tempat yang tenang, kokoh, bersih dari kotoran dan noda, sunyi dan terhindar dari keramaian dan keributan.” Ibnu Qayyim yang menjadi murid Imam Ibnu Taimiyah itu lalu menggaris bawahi bahwa fikrian yang bersih, daya ingat yang hebat dan analisa yang tepat itu keluar ketika badan dalam tenang, tidak terlalu sibuk dan terhindar dari goncangan-goncangan yang menyibukkan.

Begitulah saudaraku,

Banyak sekali manfaat yang bisa diperoleh dari beribadah dan melakukan amal kebaikan tanpa pengetahuan orang. Para ulama mengatakan bahwa ibadah dan kebaikan yang dilakukan dalam kondisi sunyi, selain bisa memberikan kekhusyu’an, lebih menigkatkan keikhlasan, juga bisa mengajarkan kita untuk tidak memiliki sikap banyak bicara dalam bekerja beramal. Artinya, amal-amal di waktu sunyi, mendidik pelakunya untuk lebih banyak bekerja daripada bicara.

Ada istilah menarik tentang hal ini yang disampaikan oleh Abdul Qadir Al Kailani. Ia mengistilahkan dengan kalimat asshumtu sindan, yang berarti diamnya rayap. Rayap binatang yang hampir tak pernah berhenti memakan kayu dan membangun rumahnya. Rayap bekerja nyaris tanpa suara dan tak pernah berhenti. Pekerjaan yang dilakukan rayap, menurut Abdul Qadir Al Kailani, mengajarkakan kita bagaimana sikap gigih dan keseriusan bekerja serta melakukan banyak perubahan tanpa peduli apakah pekerjaannya itu diketahui orang lain ataupun tidak. Perhatikanlah kata-katanya, “Yang ku ingin dari kalian adalah kerja-kerja tanpa bicara. Itu bisa dilakukan oleh yang yang mengerti dan bekerja karena Allah. Bak inatang rayap yang terus menerus menggerogot, tanpa kata-kata. Ia berjalan di atas bumi. Ia lakukan perubahan dan pergantian. Tapi bumi tuli terhadap kerjanya rayap.” (Al Fathur Rabbani/36-37)

Saudaraku,

Semoga kita bisa terhindar dari suasana yang merusak upaya untuk terus menerus melakukan amal-amal shalih. Semoga kita terjauhkan dari perilaku yang menghalangi usaha kita dalam menebar kebaikan. Perhatian orang, pembicaraan orang, hingga pujian orang karena kita memiliki kelebihan dan kekurangan di mata mereka, bisa menjadi salah satu pintu pitnah. Karena itulah, para salafushalih, umumnya lebih gemar menjadi orang yang tidak dikenal, karena yang tidak memiliki prestasi ibadah dan pengorbanan yang sangat hebat. Mereka lebih senang beramal secara diam-diam dan tak diberitakan orang. Mereka lebih suka menjadi prajurit bayangan yang rela berkorban namun tidak diketahui dan tidak dikenal orang.

Saudaraku.

Hati mirip seperti mata, bisa melihat. Demikian yang dikatakan Syaikh Muhammad Ahmad Ar Rasyid dalam kitab Al Awa’iq. Sebagaimana mata, kemampuan hati dalam melihat berdeda-beda. Ada yang mampu melihat dari jarak yang cukup jauh. Ada pula yang bahkan tidak mampu melihat benda besar yang ada di hadapannya. Begitupun hati, ada yang bisa merasakan kekurangan dirinya yang kecil. Tapi ada juga yang tidak bisa mengetahui aib dan kekurangan dirinya yang besar dan banyak. Kekuatan pandandangan hati, sangat kuat kaitannya dengan kekuatan pemahaman dan kekuatan dan cahaya iman di dalamnya. Hati bisa semakin menurun kualiatas dan kekuatannya, karena kebodohan ilmu dan redupnya cahaya iman oleh kemaksiatan.

Waspadailah pujian yang bisa menurunkan kualitas hati meraba kekurangan dan aib diri sendiri. Salah satu do’a Ali bin Abi Thalib ra yang terkenal ketika ia mendapat pujian dari orang lain, adalah “Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang mereka katakana tentang aku. Berikanlah kebaikan padaku dari apa yang mereka sangkakan kepadaku. Ampunilah aku karena apa yang tidak mereka ketahui tentang diriku.”

Saudaraku,

Mari tenggelam dalam kesunyian. Hanyut dalam keheningan. Mendengarkan setiap tarikan nafas. Merasakan detak dan irama jantung. Bertafakkur,  bermunajat, berod’a, beribadah kepada Allah SWT di waktu sunyi. Saat tak ada orang lain yang mengetahui amal-amal kita. Ketika tak satupun orang yang memperhatikan kita…

Tidak ada komentar: